Lihat ke Halaman Asli

H.Asrul Hoesein

TERVERIFIKASI

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Indonesia Butuh Kementerian Persampahan

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1347471255951121622

[caption id="attachment_198687" align="aligncenter" width="458" caption="Indonesia Butuh Kementerian Persampahan_dok.Asrul.2012"][/caption]

Fakta dan Hasil survey serta kegerahan melihat sampah dan tata kelolanya di Indonesia, sepertinya harus di manaj secara khusus dan fokus dengan kelembagan/institusi/badan tersendiri. Sepertinya Indonesia butuh kementerian persampahan. Kenapa demikian, karena sampah sudah menjadi masalah nasional dan bahkan masalah global. Selaku pengelola dan pemerhati masalah sampah dan lingkungan, kondisi sampah di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan utamanya di wilayah perkotaan seperti DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Sebut Kota Megapolitan Jakarta misalnya, memiliki 6 Kab/Kota (Kepulauan Seribu, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan). Sepertinya pemerintah tidak mampu mengatasinya dan sangat kewalahan. Timbulan sampah di sana-sini, semrawut saja, dan diperkirakan sampah Jakarta perharinya mencapai 5.000-6.500 Ton/hari. Sementara, DKI Jakarta tidak memiliki Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA) yang memadai. Terpaksa menyewa di TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, biaya sewanya Rp.107.000/Ton, sungguh fantastis biaya sampah ini. Begitupun kota-kota penyanggah Jakarta, sebut misalnya Kota Tangerang Selatan, Banten juga tidak memiliki TPA termasuk Kota Tangerang sendiri.

Kementerian Lingkungan hidup mencatat rata-rata penduduk Indonesia menghasilkan sekitar 2,5 liter sampah per hari atau 625 juta liter dari jumlah total penduduk. Kondisi ini akan terus bertambah sesuai dengan kondisi lingkungannya. "Setiap hari masing-masing orang menghasilkan 2,5 liter sampah, kalkulasikan dengan jumlah penduduk," kata Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Balthasar Kambuaya, Sabtu 14 April 2012 saat meresmikan Bank Sampah di Palembang.

Kenapa saya mencoba melempar wacana pembentukan Kementerian Persampahan ini. Karena melihat penomena pengelolaan persampahan di Indonesia sampai saat ini semakin memprihatinkan saja. Pemerintah Kabupaten dan Kota sepertinya setengah hati dalam mengelola sampahnya di daerah, hampir semua pengelolaan sampah tidak berjalan sebagaimana mestinya dan terjadi stagnan. Juga masih ada perda sampah yang tidak pernah di revisi dan malah ada daerah yang tidak memiliki perda persampahan.

Ada juga satu penomena (sesuai fakta dalam survey persampahan yang dilakukan oleh tim kami di daerah) bahwa sektor sampah memang banyak fulus didalamnya dan menjadi sumber korupsi terbesar ada juga di pengelolaan persampahan yang dilakukan oleh "oknum" pejabat pemerintah daerah Kab/Kota.

Pengelolaan persampahan di Indonesia sebenarnya tinggal menunggu kepedulian yang serius oleh pemerintah daerah,. Karena, regulasi persampahan sebenarnya sudah cukup memadai yaitu dengan adanya UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, UU.32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup, juga sydah ada Permendagri No.33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Maka dengan adanya regulasi tersebut, pemerintah daerah sudah menjadi keharusan merevisi perda persampahannya yang bernapas regulasi tersebut. Salah satu contoh Perda Persampahan Kota Samarinda (Perda No.2 Tahun 2011 Ttg.Pengelolaan Sampah) yang sudah senapas dengan regulasi persampahan tersebut.

Solusi Sampah di Indonesia by Sentralisasi-Desentralisasi (orientasi ekonomi)

Selama ini pemerintah daerah (Kab/Kota) di Indonesia dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pengelolaan di TPA, itupun masih menerapkan pola open dumping yang sentralistik, padahal (walau belum efektif, regulasinya sudah ada) belum juga “mencoba” mengaplikasi UU tersebut. Tapi tahun 2013 yad, UU Persampahan ini akan diberlakukan efektif, jadi pola open dumping yang sentralistik harus segera ditinggalkan. Harus berorientasi ekonomi, dimana asfek ekonomi inilah sebagai trigernya. Maka harus memanfaatkan teknologi olah sampah mengarah ekonomi (terjamin pasar).

Begitu juga dalam mengantisipasi pelaksanaan pengadaan sarana persampahan, pemerintah sendiri masih setengah hati menjalankan Perpres No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (perpres ini telah mengalami 2 (dua) kali perubahan yaitu Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Perpres No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan Penjelasan Perpres No.70 Tahun 2012. Tapi kenyataannya pemerintah daerah masih enggan meninggalkan Kepres 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selalu berdasar pada nilai/besaran anggaran pekerjaan semata, belum melihat spesifik pekerjaan. Dalam mengantisipasinya peran Asosiasi Konsultan non Konstruksi (Askindo) dan LSM Lingkungan/Persampahan sangat diharapkan untuk mendampingi pemerintah dan pihak swasta/masyarakat. Pengelolaan sampah sebenarnya sebuah pekerjaan spesifik dan kurang diminati, yang seharusnya dalam pelaksanaan pekerjaannya tidak semestinya atau tidak seharus nya ditenderkan. Bisa saja swakelola dan/atau pemilihan langsungdan/atau penunjukan langsung, karena juga membutuhkan partisipasi langsung masyarakat sebagai produsen sampah. Dimana swakelola pula bertujuan mendorong dan meningkatkan tercapainya percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Ini yang kurang difahami oleh Pengguna Anggaran (PA) dan/atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di daerah. (Baca postingan di  wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/08/04/catatan-buat-modis-dan-bukber-kompasiana-plus-kemenparekraf).

Pengelolaan sampah yang bijaksana dan berkelanjutan bukan di TPA, secanggih apapun teknologinya, pasti stagnan dan gagal. Jadi solusinya adalah “harus” memotong rantai distribusi sampah dari TPS ke TPA. TPS harus dioptimalisasi dengan pengelolaan berbasis komunal orientasi ekonomi. Ini pula sesuai dengan UU.18 Tahun 2008 tsb. Harus menerapkan pola pengelolaan yang sentralisasi desentralisasi (se-desentralisasi).

Konsep pengelolaan ini telah saya usulkan "proposal" ke Menteri Negara Lingkungan Hidup RI per 30 Agustus 2012 (dalam pembahasan) untuk dipertimbangkan pengelolaannya di Indonesia agar bisa sustainable sekaligus dapat membuka lapangan kerja baru berbasis sampah. Juga kami mengusulkan sebuah program pertanian terpadu bebas sampah (Integrated farming zero waste) menuju ketahanan pangan dan energi nasional berbasis sampah.

Pengelolaan sampah di kab/kota sebaiknya membentuk Perusda Sampah (sebagai perusahaan inti) dalam tata kelola sampah dan masyarakat (Kelompok Usaha Bersama) sebagai perusahaan plasma, ini baru terjadi pengelolaan berbasis masyarakat (pro rakyat) yang berkelanjutan (sustainable). Pemerintah harus berani dan legowo menyerahkan sebagian pengelolaan sampah kepada masyarakat dan/atau pihak swasta (swasta yang fokus pada aktifitas ini (sesuai pula amanat UU.18/2008 tsb), bukan perusahaan aji mumpung. Usulan  tata kelola ini bukan sekedar wacana saja, tapi jauh sebelumnya sudah ada kami (Posko Hijau/PT.CVSK, Bandung) bersama mitra-mitra di Indonesia dan luar negeri; Contoh pengelolaan basis komunal orientasi ekonomi al: di Bintaro Plaza, Perumahan Cikupa, Tigaraksa, Kab.Tangerang, Lapas Cipinang, PT. Pupuk Kaltim. Tbk, Bontang, Kalimantan Timur, TPS Kelurahan Loa Bakung, Kota Samarinda, Kaltim dll, sudah terbangun lebih 600 titik di Indonesia termasuk di Malaysia.

Namun semua ini, tidak akan terlaksana dengan baik bila stakeholder persampahan tidak terintegrasi dan fokus. Saya menyarankan kepada stakeholder khususnya kepada Presiden SBY untuk mempertimbangkan pembentukan Kementerian Persampahan, ini akan menjadi “kenangan besar bagi Pak SBY diakhir pemerintahannya. Maka lengkaplah perjuangan Presiden SBY dalam mengantisipasi persampahan di Indonesia, dimana sebelumnya pada periode pertama berpasangan dengan Jusuf Kalla (SBY-JK) telah menciptakan/mengeluarkan UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UU ini baru ada sejak republik ini berdiri), sungguh sebuah karya spektakuler Pak SBY-JK, selama menjadi presiden Republik Indonesia (2 priode). SBY-Budiono ditunggu membentuk Kementerian Persampahan.

Fokus Kelola Sampah by Kementerian Persampahan.

Seharusnya, masalah persampahan ini ada kelembagaan khusus yang mengurusnya. "Indonesia ini butuh Kementerian Persampahan, yang bisa mengatur tata kelola sampah berbasis ekonomi. Kalau cuma mengandalkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kemendagri tidak bisa fokus, karena mereka bekerja parsial (Kementerian LH sangat luas wilayah tugasnya juga di Kemendagri terlalu kompleks disana. Tapi toh kalau wacana ini masih berat (konsekuensi anggaran), maka setidaknya di Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, dibentuk Deputy Menteri Bidang Persampahan (bukan cuma Asisten Deputy), untuk mensinergikan dan aktualisasi program lintas kementerian/lembaga/badan/pemerintah daerah. Termasuk pola kerjasama antardaerah (regionalisasi management) dalam sektor pengelolaan sampah.

Jadi pengelolaan “makro” persampahan akan terfokus, tidak seperti yang ada saat ini, semua kementerian, termasuk Kementerian PU dan kementerian lainnya ada anggaran yang mungkin bisa saja ngawur disana, K/L/B/I masing-masing membuat perencanaan tapi terpisah dan tidak terintegrasi. Sebaiknya ada Master Plan Perencanaan Sampah Nasional yang terintegrasi kesemua kementerian terkait, demi efisiensi anggaran dan terjadi fokus. Termasuk pada Kementerian Pariwisata dan Pengembangan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perindustrian dan juga Kementerian Pertanian. Semua harus duduk semeja dalam membicarakan sekaligus merencanakan pengelolaan persampahan ini.

Duduk semeja semua kementerian ini, sangatlah susah dan bisa terjadi pemborosan anggaran dimana-mana, maka jalan terbaik adalah pembentukan Kementerian Persampahan RI, memang kelihatannya akan menyerap anggaran baru, tapi jauh akan lebih efisien dan sustainable bila ada kelembagaan khusus tersebut.

Sebagai penutup bahwa sampah harus dikelola dengan niat dan hati yang bersih untuk menghadapi sampah yang berkonotasi kotor. Bila niat dan hati kotor, maka alamat kiamat/kualat dikemudian hari. Sebagaimana pengelolaan persampahan yang terjadi dewasa ini. Banyak proyek persampahan fiktif dan mubadzir di daerah-daerah, karena pengelolaannya serampangan dan dikerjakan oleh bukan ahlinya. Juga sekedar catatan kaki bahwa, sampah di Indonesia sebaiknya menggunakan teknologi tepat guna di TPS, agar terjadi biaya dan investasi murah/memasyarakat. Tidak perlu datangkan teknologi “ekstra” modern dari luar negeri yang biayanya sangat tinggi. Karena harus diperhitungkan antara biaya investasi dan harga/nilai jual produk yang dihasilkan oleh teknologi tinggi tersebut. Termasuk pengelolaannya (pengadaan sarana dan prasarana) harus masuk dalam asfek ekonomi atau azas manfaatnya harus jelas.

Jakarta, 13 September 2012

Posko Hijau dan FB>AsrulPoskoHijau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline