Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), dibeberapa daerah di Indonesia, banyak agenda yang tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Semua itu menunjukkan kesadaran berdemokrasi masih pada tataran seremonial belaka. Tapi memang tidak harus serta-merta menyalahkan kontestan (kandidat) saja atau tim suksesnya, melainkan juga pihak-pihak terkait, sebut misalnya KPU, Panwas, Partai Politik, Petugas keamanan, dll. justru mengabaikan komitmen dan regulasi pemilihan serta eksistensi dan tanggungjawabnya.
Ketidaknyamanan dalam penyelenggaraan pemilukada ini, dinilai beberapa kalangan juga diakibatkan oleh adanya pihak-pihak tertentu yang belum siap berdemokrasi secara cerdas, juga ada yang mengaitkan dengan upaya untuk mengembalikan system pemilukada seperti dulu lagi (melalui pemilihan gubernur/bupati/walikota di DPRD), dimana tidak lagi diadakan pemilihan langsung oleh rakyat, tetapi oleh perwakilannya yang terhormat di DPRD.
Perubahan UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah sementara sekarang digodok (dalam penggarapan) di DPR, diperkirakan akan pecah menjadi 3 undang-undang yaitu :UU Pemerintah Daerah, UU Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta UU Pemerintahan Desa. Kemendagri memang gencar menawarkan wacana penghapusan paket pemilukada langsung dengan alasan efisiensi waktu dan biaya. Sementara sekarang ini Kemendagri mengadakan sosialisasi tentang penghapusan pemilukada wakil bupati secara langsung, jadi rencananya khusus wakil bupati akan direkrut langsung dari pejabat karir (PNS) tanpa di pilih oleh rakyat, Tetapi langsung dipilih oleh bupati terpilih.
Terlepas dari alasan efisiensi waktu, biaya dan masalah yang ditimbulkan dari ekses pemilukada secara langsung tersebut, namun hendaknya pemilukada ini harus tetap dipertahankan, kalau disana sini ada kekurangan, system dan moral pelaksanasajalah yang diperbaiki, karena ini adalah pesta demokrasi bagi rakyat, jadi selayaknya pemilukada langsung tetap dipertahankan, termasuk wakil bupati/walikota atau wakil gubernur, ini juga atas nama efisiensi biaya kalau dipaketkan, serta peluang masyarakat sipil tetap ada untuk posisi itu, jangan dikebiri lagi..kurang jatah satu lagi rakyat sipil
KPU merupakan sentral pelaksana pemilukada maka terkhusus dalam perekrutan anggota KPU harus ekstra ketat (revisi undang-undangnya sekarang juga), mari berkaca serta mengambil hikmah dari kasus Andi Nurpati, yang keluar dari anggota KPU tanpa kesantunan/etis dan tanggungjawab, mereka hanya tanggung-menjawab saja dengan alasanpunya Hak Konstitusi/Politik. Ya benarlah itu, namun harus disadari bahwa komisioner KPU itu adalah pejabat Negara (bukan warga Negara biasa). Itu yang saya katakan tanggung-menjawab bukan tanggung-jawab. Mereka tau itu tapi berpura-pura saja demi kepentingan sesaat sampai melupakan moralitasnya sebagai pejabat negara. Sungguh ironis.
Momentum Pembenahan Daerah
Peristiwa pemilukada ini semestinya atau seharusnya dilihat sebagai momentum pembenahan (restorasi) untuk memajukan daerah itu sendiri, agar dambaan rakyat akan kemajuan dan kesejahteraanrealistic dapat diharapkan atau dapat terwujud. Karena tanpa itu pemilukada tidak lebih dari sekedar seremoni atau ritual politiklima tahunan yang membosankan, bahkan akan menjadi celah atau benih lahirnya konflik terbuka diantara berbagai kelompok di masyarakat.
Sirkulasi elite daerah pada pemilukada itu merupakan cara/systemmemenangkan cita-cita atau harapan rakyat agar terbebas dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Karena pemilukada dianggap sebagai mekanisme paling demokratis untuk memilih dan mengangkat figure terbaik yang bisa menjadi representasi aspirasi dan kebutuhan rakyat. Tidak dipungkiri puladalam prakteknya (pemilukada langsung) sering terjadi pembodohan juga yang dilakukan oleh kandidat dengan cara kotor yaitu adanya kampanye hitam, money politic, pengarahan massa, dlsb. Tapi itu merupakan sebuah proses, dan itu bisa diminimalisir ke depan.
Sungguh suatu kesia-siaan menggelar pemilukada jika kita hanya memilih orang yang kualitas dan integritasnya diragukan semata hanya karena berasal dari suku, agama, serta budaya yang sama dengan kita. Jadikanlah pemilukada sebagai momentum pembenahan daerah menuju kemandirian dan kesejahteraan. Bila rakyat menginginkan atau merindukan kemajuan daerahnya, menjadilah pemilih yang cerdas, kritis adalah pilihan yang tepat.
Kegagalan otonomi daerah atau berjalannya otonomi daerah setengah hati itu, bukan juga semata kesalahan itu diletakkan pada pundak elite politik dan birokrasi pusat dan daerah, tapi sering kita melupakan elemen rakyat sebagai kekuatan poitik yang berdaulat. Bagaimanapun, kemandirian, kemajuan dan kesejahteraan rakyat atau daerah tidak akan mungkin hadir sebagai hadiah cuma-cuma/gratis dari elite politik, tetap tumbuh dan harus ditumbuhkan dari prakarsa dan daya kritis rakyat juga yang menggunakan hak pilihnya. Gunakan hak pilih dengan baik. Serta mari dukung bersama bahwa pemilukada langsung harus dipertahankan sebagai pesta demokrasi rakyat.
Titip saran buat DPR/Pemerintah dan terkhusus KPU:
Demi menghindari terjadinya perbuatan anarkis terkhusus pasca pemilukada, sebaiknya perhitungan cepat (Quit Count) ditiadakan saja, kalau toh, para kandidat mau menggunakan jasa pengelola perhitungan cepat itu silakan tapi untuk konsumsi sendiri dan jangan dipublikasikan melalui media, karena percuma saja dan sangat mempengaruhi jiwa masyarakat yang kandidatnya kalah, atau menjadi pemicu pertikaian, kerugiannya lebih besar dari manfaat yang diperolehnya dan yang rugi rakyat sendiri. Bukan rakyat yang tidak menerima Quit Count itu, rakyat (massa) hanya dikorbankan saja atas kerakusan kekuasaan. Jadi keberadaan Quit Count perlu dipertimbangkan untuk sementara waktu, sampai masyarakat faham eksistensi perhitungan cepat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H