Lihat ke Halaman Asli

H.Asrul Hoesein

TERVERIFIKASI

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Rakyat Biasa Versus Rakyat Plus

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai rakyat biasa mungkin tidak perlu dipertanyakan atau diperdebatkan, mengenai penggunaan (atau mengatasnamakan) “Hak Konstitusi atau Hak Politik” jelas tidak etislah sebagai warga Negara bila tidak menggunakan hak tersebut sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, namanya saja “Pesta Rakyat”, sekalipun termasuk pemilihan kepala desa. Karena dari sanalah titik awal (hulu) dari kesejahteraan itu sendiri. Jadi sebagai rakyat biasa harus gunakan hak pilihnya dan tidak boleh golput.

Namun, jujur saja, Tolong sobat kompasianer bantu ya…… karena sedikit bingung pada masalah penggunaan hak konstitusi pada “Rakyat Plus”. Istilah “rakyat plus” yang saya maksud disini adalah, bila seseorang atau sekelompok (rakyat) punya kapasitas tertentu (diberi tanggungjawab oleh negara) dalam mengurusmasyarakat “rakyat biasa” atau mengelola Negara atau diberi tugas tertentu secara profesionalisme, atau lebih focus lagi kepada yang namanya Pemilu (Pileg), Pilpres, Pemilukada. Hal ini sangat bersentuhan langsung dengan Hak Konstitusi yang dimaksud. Begitu pula bila hak konstitusi ini dibenturkan dengan etika dan profesionalitas, bisa jadi rakyat kita atau mungkin kita sendiri tidak akan cerdas berdemokrasi selamanya, bila selalu dipertontonkan sebuah sikap munafik (seakan tidak tau padahal tau) dan “debat kusir” yang berkepanjangan di Negara ini, ujung-ujungnya, akan melahirkan pertikaian atau anarkisme. Kenapa bingung karena di Indonesia ada “Pancasila” didalamnya ada moral tentunya berarti ada etika disana. Nah kenapa “Rakyat Plus” itu tidak berdasa napas dari Pancasila atas segala tindakan atau keputusan yang akan diambil….? Kenapa Pancasila dan UUD 1945 diartikan sempit…? Atau sengaja disempitkan, agar tujuan sesaat tercapai..? Sudah tidak adakah moral dan agama di “Rakyat Plus” itu..? Tahukah mereka bahwa “Rakyat Biasa” juga punya kekuatan yang maha dahsyat melalui Parlemen Jalanan..?

Sebut misalnya, kasus Andi Nurpati (AN) meninggalkan KPU hijrah ke Partai Demokrat (PD), baik PD sebagai pengundang maupun AN yang terundang, sama-sama mengatasnamakan “Hak Konstitusi”, menurut saya pengertian “Hak Konstitusi” disini terlalu mengada-ada karena AN adalah masuk kategori “Rakyat Plus” dan bukan “Rakyat Biasa”. Itu jelas keluar dari rel undang-undang, kontra produktif dengan sumpah jabatan yang telah diucapkan, terlebih sangat mengesampingkan etika berpolitik atau etika berdemokrasi yang cerdas, baik oleh AN maupun oleh PD itu sendiri. Saya yakin pula bila partai besar lain (sebut misalnya, Golkar, PDIP, PAN, PKS) yang panggil AN pasti menolak ajakan itu, nah kenapa AN tidak menolak ajakan PD…?Apakah karena ada pengaruh SBY sebagai Pembina PD, sehingga AN berani tanggung menjawab (bukan tanggungjawab)…? Diharapkan Dewan Kehormatan KPU bekerja bukan berdasar “pesanan sponsor” atau by design….semoga.

Satu sisi sosok Todung Mulya Lubis (TML) sebagai Anggota Panitia Seleksi (Pansel) Ketua KPK. menolak ajakan PD tersebut, lebih memilih melanjutkan tugas dan tanggungjawabnya di Pansel Ketua KPK. Sementara TML juga kan punya “Hak Konstitusi” juga dan malah TML tidak melanggar undang-undang atau aturan yang berlaku di Pansel kan kalau rangkap jabatan, lagian di pansel juga cuma kepanitiaan (bersifat sementara) saja. Apakah TML etika dan profesionalisme yang bernapas pada dasar Negara kita. Dan benarkah dugaan saya bahwa sosok TML itu konsisten atau total menempatkan dirinya sebagai “Rakyat Plus” yang patut diteladani..?

Parkir Hak Pilih dan Dipilih Anggota KPU

Sebagai rakyat biasa, atas nama Kedamaian Indonesia, demi tidak terjadi keberpihakan yang akan menghasilkan kecurangan. Bagaimana kalau anggota KPU (Pusat dan Daerah) di parkir dulu hak pilihnya termasuk tidak boleh di pilih, seperti TNI/Polri, atau beri sanksi tegas dan berat bila inkonsistensi. Hak memilih dan dipilih diparkir untuk sementara waktu sampai Indonesia benar-benar cerdas berdemokrasi, termasuk pengelola atau penyelenggara pemilu sudah mampu menerapkan etika dan profesionalismenya (siapkan regulasi yang sehat, jelas dan tegas). Karena kalau tidak, anarkisme susah dihindari dan Indonesia akan menjadi lautan darah dan bencana dimana-mana, karena kita sendiri yang menjadi Badut Pentasnya, “Rakyat Plus” yang menjadi pelakunya demi keuntungan sesaat, sementara “Rakyat Biasa” akan menjadi korban kerakusan kekuasaan dan materi…Naudzubillah……

Apa yang salah di negeri ini …………………??????????????????

Sobat kompasianer. Mari kita melalui komunitas kompasiana ini (sebagai “rumah sehat” pinjam istilah Mba Linda, madame kompasiana), untuk menggugah pengelola republic ini, termasuk praktisi hukum, politik, dll. agar berhenti melakukan debat kusir di media (cetak dan terlebih elektronik), karena mungkin melalui opini, komentar yang konstruktif mereka akan tergugah terkhusus Rakyat Plus yang saya maksud diatas. Kita harus mengambil bagian (kecilpun ga masalah)  untuk mencerdaskan republic ini dalam berdemokrasi atau bermasyarakat yang sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline