Lihat ke Halaman Asli

H.Asrul Hoesein

TERVERIFIKASI

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Disiplin Anggaran Kunci Sukses Otonomi Daerah

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kunci sukses pelaksanan otonomi daerah (otoda) terletak pada disiplin anggaran dan mental perilaku pejabat eksekutif (Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota dan seluruh jajarannya) serta legislative (DPR & DPRD Prov dan Kab/Kota). Untuk itu masyarakat perlu mengontrol setiap sector anggaran rutin dan pembangunan pada APBD, baik yang sementara diajukan ke DPR/DPRD maupun yang telah ditetapkan oleh kedua lembaga tersebut, sampai dengan saat pelaksanaan di lapangan, selama ini banyak terjadi konsfirasi. Terbukti banyak kasus markup pada kedua institusi tersebut di seluruh Indonesia yang sudah masuk di lembaga yudikatif, belum lagi “korupsi berjamaah” anggota parlemen yang hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, begitu parahnya Indonesia !!! Mau dibawa kemana Bangsa ini, Apakah mental/moral bangsa ini memang sudah menipis atau sama sekali minus !!!

Dalam pelaksanaan otoda, kami percaya, pemerintah (Kab/Kota), baik bupati/walikota maupun DPRD mampu, tetapi jika mental/moral pejabat kedua lembaga tersebut masih seperti dulu, yah….. payah. Sebaliknya kami tidak percaya jika pemerintah daerah propinsi bersama pemerintah kota/kabupaten – nya, akan bangkrut dengan pelimpahan tenaga dari pusat. Dana untuk itu ada, tetapi anggaran rutin menyangkut soal mobil dinas, THR, studi banding, pelatihan yang tidak efektif dll. Harus diminimalisir atau kalau mungkin dihilangkan yang tidak perlu. Seperti studi banding, maaf ….. yang selama ini menjadi ajang rekreasi belaka para pejabat birokrasi.

Audit Pejabat & Redensain Job Description

Dua hal yang harus dilakukan mendesak untuk tetap eksis pada era otoda. Yakni audit sumber daya manusia (SDM) pejabat dan desain kembali job description. Apakah kualitas pejabat itu memang layak menduduki jabatan tertantu sesuai dengan kompetensinya, perlu dilakukan audit, jangan gubernur, bupati atau walikota asal tunjuk saja dengan berdasarkan kedekatan person, balas budi dalam pilkada, loyalitas ke partai, ini harus dihilangkan semua, kalau perlu setiap pejabat negara/daerah harus keluar dari partai pengusungnya sebelum atau setidaknya setelah dilantik (hal ini harus ada regulasi secepatnya kalau mau bangsa ini maju dan berkembang). Perihal pendidikan formal pejabat (baca PNS) terkhusus PNS yang akan melaksanakan tugas belajar yang dari dan ke S-2 (magister) atau bahkan ke S-3 (doctoral), sedapatnya dilanjutkan kebidang keahliannya atau bidang yang akan menjadi prioritas pengembangan daerah yang membiayainya (spesialisai tersebut sedapatnya disinergikan dengan rencana program/pembangunan yang akan dilaksanakan didaerah yang membiayai pendidikan, atau daerah yang meberi bea siswa PNS tsb) agar setelah selesai belajar, bisa diaplikasikan ke daerahnya. Diharapkan jangan seperti sekarang ini, hanya semata mereka belajar karena hanya mengejar karir/kepangkatan atau posisi jabatan semata, baiknya berfungsi keduanya, baik terhadap daerah maupun karir pejabat PNS itu sendiri, itu baru profesional dan akhirnya menjadi PNS professional, terkecuali kalau memakai biaya sendiri, itu terserah, tapi setidaknya PNS hrs berjiwa besar n mengerti akan kebutuhan bangsa dan rakyat dimana mereka berbakti agar dapat menyumbangkan bakti dan karyanya secara professional demi kemaslahatan bangsa Indonsia itu sendiri. ?!. Gubernur, Bupati/Walikota diharap tidak membiayai kalau tidak mempunyai dampak positif jugakepada pembangunan wilayah, jadi harus diserahkan ke bidang yang menjadi sasaran pengembangan.

Juga yang sangat perlu adalah menghindari adanya pemborosan legal, untuk itu kalangan eksekutif dan legislative harus berusaha tidak melegalkan pemborosan dalam penyusunan rencana anggaran pendapatan belanja daerah (RAPBD). Jika anggaran rutin lebih banyak kebutuhan sekundernya, itu namanya pemborosan yang di-legal-kan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, masyarakat harus mengontrol itu, harus berani.

Yang mengherankan kenapa kalangan legislative di daerah kaget dan bingung dengan penurunan Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat. Sebenarnya sudah lama pusat memberi sinyal atau warning jika akan ada penurunan dana dari pusat. Bahkan Bappenas beberapa tahun sebelumnya sudah menyatakan jika DAU untuk bebrapa propinsi akan turun. Ada tiga pos dana yang menurun dengan diberlakukannya otonomi daerah, yakni Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini seharusnya sudah diantisipasi oleh DPRD dan pejabat di tingkat Kab/Kota. Walau banyak orang melihat bahwa secara keuangan pemerintah pusat akan membantu lewat DAU dan DAK, tetapi kita semua jangan menggantungkan diri pada DAU dan DAK tersebut. Dulu sumbangan daerah kaya ke pusat itu 80 persen dan untuk dirinya hanya 20 persen, sekarang terbalik, artinya kas pusat juga makin kecil, maka DAU dan DAK sekarang sudah tidak seperti dulu, untuk itulah dalam rangka otonomi ini, daerah harus dapat menggali potensi daerah dan kreatifitas masyarakat termasuk pengusaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Jangan sampai kreatifitas itu di bungkam oleh berokrasi karena tidak terlalu menguntungkan secara pribadi. Juga yang sangat perlu adalah menghindari adanya pemborosan legal. DAU dan DAK sekarang sudah tidak seperti dulu, untuk itulah dalam rangka otonomi ini, daerah harus dapat menggali potensi daerah dan kreatifitas (masyarakat dan pengusaha) untuk meningkatkan PAD. Jangan sampai krestifitas itu dibungkam oleh birokrasi karena tidak terlalu menguntungkan secara pribadi, ini merupakan salah satu indikasi/aspek memburuknya perekonomian nasional.

Dengan adanya penurunan dana dari pusat, maka disiplin anggaran harus dilakukan di daerah. Jangan dananya kecil, keinginannya untuk memperoleh fasilitas besar. Jika itu terjadi, maka anggaran pembangunan akan kecil. Kalangan eksekutif dan legislative harus mengerti keadaan ini, jangan memburu kesenangannya sendiri.

Utang Keluar Negeri

Meski UU No. 22/1999 menjamin pemerintah daerah dapat melakukan peminjaman dari luar negeri, seperti termaktub dalam pasal 81 ayat (1), namun hal itu hendaknya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa. Bahkan aturan ini perlu dicermati lebih lanjut. Pemerintah Propinsi/Kab/Kota demi menggenjot dana dari luar negeri (minus hutang), Sebaiknya membuat regulasi akan kemudahan bagi investor untuk berinvestasi di daerahnya, jangan mengandalkan utang luar negeri. Harap dimaklumi Negara kita ini sudah bertumpuk utangnya. Utang boleh tapi harus terjadi keseimbangan kemampuan daerah untuk membayarnya.

Tanpa control yang baik utang luar negeri dapat memungkinkan suatu daerah disita Negara lain,untuk itu selain menyetujui bunyi pasal 81 ayat (3) bahwa pinjaman luar negeri harus mendapat persetujuan pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang, mungkin perlu ada aturan lain (Perda), misalnya utang itu harus sekian persen dari kekuatan daerah.

Meningkatkan Kualitas Pejabat

Disamping disiplin anggaran yang merupakan salah satu kunci sukses tidaknya otonomi daerah (otoda), juga yang perlu dicermati adalah peningkatan kualitas pejabat birokrasi (eksekutif) termasuk legislative (DPRD). Karena itu pada era otonomi daerah yang perlu dilakukan oleh aparat birokrasi pemerintah Provinsi, Kab/Kota adalah meningkatkan kualitas diri. Diharapkan di era otonomi daerah kedepan setiap aparat birokrasi mampu memberikan layanan prima serta memuaskan kepada mesyarakat (persegera terapkan UU Pelayanan Publik) karena bila pelayanan public tidak baik dan tidak lancer atau malah terjadi stagnan maka bisa dipastikan disana ada KKN, sehingga bisa menciptakan suasana yang kondusif terhadap iklim usaha. Aparat birokrasi diupayakan mampu berpikir secara dinamis dan berwawasan wiraswasta atau berjiwa pengusaha (government entrepreneurship), sehingga pemerintah baik bupati/walikota serta anggota DPRD mampu membuat kebijakan atau membuat peraturan daerah (perda) yang dapat memacu meningkatnya PAD melalui cara-cara yang tidak memberatkan masyarakat dan pengusaha lokal, termasuk para investor baik nasional maupun pihak asing, sehingga daerah tersebut dapat ditempati berusaha dengan suasana kondusif…… (by.rul 04reto09)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline