Awal mula filsafat Al-Farabi ialah tentang negara dengan menjelaskan bahwa tidak setiap orang menyadari kebahagiaan sebagai yang dituju ataupun sebagai arah setiap manusia tempat mereka hidup. Bahkan banyak lagi yang tak tahu bagaimana cara memperoleh kebahagiaan tersebut. Malah kebanyakan orang membutuhkan pembimbing atau penasihat. Sekalipun orang tersebut mengetahui cara mendapatkan kebahagiaan tersebut, entah itu tahu dengan sendirinya atau karena memperoleh bimbingan dari seorang guru, bukan berarti ia akan berbuat sesuai dengan pengetahuannya bila tidak ada stimulus dari luar dirinya. Jadi, ia memerlukan seseorang yang akan membuat dirinya berbuat demikian.
Dalam hubungan ini menurut Al-Farabi, ada tiga golongan manusia dalam hal kapasitasnya untuk memimpin, yaitu kapasitas untuk membimbing dan menasihati. Pertama, penguasa tertinggi atau penguasa mutlak; kedua, penguasa subordinat yang memimpin dan sekaligus dipimpin; dan ketiga, yang dikuasai sepenuhnya. Penguasa tertinggi, dengan demikian, adalah nabi atau imam yang merupakan pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat dan tindakan untuk masyarakatnya melalui wahyu Tuhan. Singkatnya, mereka adalah orang yang selain sempurna fisik, mental dan jiwanya memiliki keahlian yang sempurna dalam kearifan teoretis dan praktis, yakni keahlian memerintah atau politik.
Al-Mawardi menyatakan pemikirannya dengan mengacu kepada praktik kenegaraan Khulafa'al-Rasyidun pada masa Dinasti Umayah dan Abbasiah dengan teori penetapan kepala negara menggunakan dua cara yaitu (a) pemilihan kepala negara oleh ahl hall wa al-'aqd dan (b) penunjukan kepala negara sebelumnya. Cara pertama tersebut digunakan oleh praktik kenegaraan yang ada pada masa Khulafaurasyidin. Namun dalam praktiknya, Al-Mawardi tetap menyokong cara kedua yaitu menjustifikasi kekuasaan monarki yang ada, hal tersebut merupakan kecenderungan umum pada waktu itu karena adanya sikap khalifah yang umumnya otoriter.
Gambaran ideal Al-Mawardi tentang pemerintahan Islam, bahwa hanya diperbolehkan satu imam saja pada suatu masa. Al-Qur'an: 21:22 menyatakan bahwa "jika sekiranya ada Tuhan selain Allah di langit dan di bumi, niscaya keduanya akan hancur". Pandangan ini dinyatakan Al-Mawardi di masa ketika umat Islam telah menerima kenyataan adanya khalifah-khalifah ganda selama lebih seratus tahun pemerintahan dunia Islam yaitu; Khilafah Abbasiah di Baghdad, Fathimiyah di Mesir dan Syria, dan Khilafah Umayah di Spanyol.19 Pandangannya tentunya bermotifkan ancaman bahaya bagi khalifah Abbasiah yang Sunni dari pihak khalifah Fathimiyah yang Syi'i di Mesir. Bertentangan dengan doktrin Syi'ah Al-Mawardi mengajukan pendapat bahwa keimaman adalah lembaga yang dipilih.
Dari dua uraian di atas bahwa Al-Farabi menetapkan tujuannya yang bersifat agamis, yaitu kebahagiaan seseorang di dunia dan akhirat, dapat dilihat bahwa dampak tersebut dapat membawa nilai positif bagi format tujuan politik dan negara pada masa yang akan datang. Sedangkan Al-Mawardi dalam bukunya, al-Ahkam as-Shulthaniyah, tidak secara tegas memperlihatkan kecenderungannya untuk memihak kepada salah satu keturunan dari dua keturunan besar ialah keturunan Abbasiah dan Syi,i, yang sangat berpengaruh. Beliau lebih memperlihatkan pandangan kooperatif terhadap kedua keturunan tersebut karena hal itu terbukti bahwa pada buku tersebut pada suatu saat menyebut kepala negara sebagai khalifah yang cenderung kepada konsep kepemimpinan Abbasiah dan di saat yang lain dia menyebutkan Imamah yang cenderung pada konsep kepemimpinan Syi'i. (Sukardi Imam, 2017)
Referensi:
Bagir Haidar. Pemikiran Politik Islam: Antara Autoritas Dan Demokrasi. Universitas Paramadina Jakarta.
Sukardi Imam, 2017. Tradisi Pemikiran Sosio-Politik Islam (kilasan pemikiran al-farabi dan al-mawardi dalam lintasan sejarah). Vol. 29, No. 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H