Lihat ke Halaman Asli

Sang "Juru Selamat" yang Terjegal Pajak Progresif Nikel

Diperbarui: 25 Oktober 2022   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pajak progresif nikel. Sumber: pexels.com

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memprediksi ekonomi global bakal gelap gulita pada tahun 2023. Hal ini ditandai dengan meningkatnya inflasi global dan adanya ancaman resesi keuangan pada beberapa negara yang disebabkan ketidakstabilan pasar keuangan. 

Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva bahkan menjelaskan kalau pertumbuhan ekonomi bakal seperti resesi. IMF memperkirakan kerugian output global sekitar US$4 triliun selama 2022 - 2026. Hal ini adalah kemunduran ekonomi dunia. 

Namun sayangnya, di tengah ketidakpastian ekonomi global, Indonesia melakukan langkah progresif yang cukup mencengangkan! Sebab pemerintah bakal menerapkan tarif pungutan pajak progresif nikel pada tahun 2022. Besaran pajak tersebut adalah 5% untuk harga US$15.000 hingga US$16.000 per ton. Hal ini tercantum dalam PP RI No. 26/2022. Tidak hanya nikel, komoditas mineral lainnya seperti bauksit dan timah dikabarkan juga akan terkena pajak progresif tersebut.

Padahal, menurut BKPM, realisasi investasi Indonesia mencapai Rp892,4 triliun pada Januari - September 2022. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp479.3 triliun dan Penanaman Modal Negeri sejumlah Rp413,1 triliun. 

BKPM mencatat, lima sektor terbesar dari gabungan PMA dan PMDN adalah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya dengan nilai investasi Rp131,8 triliun. Disusul sektor pertambangan dengan nilai investasi Rp96,5 triliun. 

Bahkan, berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per Senin (3/10), realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) hingga kini tercatat mencapai Rp 118, 34 triliun, sekitar 279,32% dari target rencana penerimaan tahun 2022 yakni sebesar Rp 42,37 triliun.

Tidak hanya itu, Indonesia juga mengalami peningkatan ekspor barang pada kuartal II lalu, khususnya di sektor pertambangan. Badan Pusat Statistik melaporkan ekspor dari sektor tersebut mencapai US$5,93 miliar, meningkat 103,6% dari setahun sebelumnya (year-on-year).

Bukankah ini menjadi pertanda bahwa komoditas mineral seperti nikel telah menjadi 'juru selamat' bagi perekonomian Indonesia? Tidak heran jika banyak protes dari kalangan para pelaku usaha. 

Protes ini bukan tanpa alasan, sebab jika ditelisik lebih dalam, kebijakan ini membuat berbagai pihak, baik pengusaha maupun investor tidak tenang ketika menjalankan usahanya.

Dengan adanya pajak progresif nikel ini, beragam produk nikel yang akan dikirim ke luar negeri terutama dalam bentuk setengah jadi akan dikenakan pajak! Tentu akan merepotkan, bukan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline