Penulis: Hasna Lathifah Rahma (2407830), Dosen Pengampu: Dr. Dinie Anggraeni Dewi,M.pd, M.Irfan Ardiansyah S.Pd,
[Bandung, 23 Desember 2024] -- Konflik bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) terus menjadi sorotan di tengah dinamika sosial masyarakat Indonesia. Maraknya kasus konflik horizontal yang dipicu oleh isu-isu sensitif ini semakin mengkhawatirkan, terutama di era digital yang mempermudah penyebaran provokasi dan berita hoaks.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai insiden menunjukkan peningkatan ketegangan antar kelompok masyarakat. Sebagai contoh, di beberapa wilayah terjadi bentrokan antar suku yang dipicu oleh kesalahpahaman kecil namun berkembang menjadi konflik besar akibat provokasi di media sosial. Pakar sosial, Dr. Andika Permana, menyatakan bahwa pola ini terus berulang karena minimnya literasi digital di kalangan masyarakat.
"Media sosial menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memudahkan komunikasi, namun di sisi lain, ia menjadi lahan subur bagi penyebaran isu SARA yang dapat memecah belah persatuan bangsa," ujar Dr. Andika.
Selain itu, tindakan intoleransi terhadap kelompok agama tertentu juga masih terjadi di beberapa daerah. Peneliti dari Lembaga Studi Perdamaian Nasional, Dewi Kurniasih, mengungkapkan bahwa diskriminasi berbasis agama seringkali dipicu oleh ketidaktahuan atau kesalahpahaman terhadap keyakinan lain. Hal ini diperparah oleh kurangnya dialog antar umat beragama yang dapat menjadi jembatan pemahaman.
Namun, tidak semua berita tentang isu SARA berakhir negatif. Di tengah tantangan ini, upaya bersama terus dilakukan untuk menjaga persatuan bangsa. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menggalakkan program pendidikan toleransi yang ditujukan kepada siswa sejak dini. Salah satu program yang diinisiasi adalah Festival Persatuan Indonesia, yang mempertemukan pelajar dari berbagai daerah untuk merayakan keberagaman budaya.
"Kegiatan seperti ini sangat efektif untuk menanamkan nilai persatuan sejak usia muda. Anak-anak diajarkan untuk melihat keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman," kata Direktur Program, Anita Yuliani.
Di sisi lain, tokoh masyarakat dan organisasi keagamaan juga berperan aktif dalam menggalakkan dialog lintas agama dan budaya. Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Bapak Ridwan Hakim, menegaskan pentingnya mediasi ketika konflik mulai memanas. "Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan melalui dialog. Kita harus duduk bersama, saling mendengarkan, dan mencari solusi terbaik tanpa kekerasan," tuturnya.
Masyarakat diharapkan turut serta dalam upaya menjaga persatuan dengan lebih bijak dalam bermedia sosial. Literasi digital menjadi kunci untuk meminimalkan dampak negatif dari penyebaran informasi yang tidak benar. Pakar teknologi informasi, Rina Wijayanti, menyarankan masyarakat untuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya dan melaporkan konten provokatif kepada pihak berwenang.
Penegakan hukum juga menjadi salah satu pilar utama dalam menangani konflik SARA. Aparat keamanan bekerja keras untuk mencegah potensi konflik dengan memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terbukti menyebarkan kebencian. "Kami tidak akan memberi ruang bagi siapa pun yang mencoba memecah belah persatuan bangsa melalui isu SARA," tegas Kapolri, Jenderal Agus Pranoto, dalam konferensi pers terbaru.
Di tengah berbagai tantangan, semangat persatuan tetap harus dijaga. Sila ketiga Pancasila, "Persatuan Indonesia," mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk terus bekerja sama menghadapi perbedaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Keutuhan bangsa ada di tangan setiap individu yang mau menghormati dan menghargai keberagaman.