Lihat ke Halaman Asli

Hasna Hudiya

Welcome!!!

Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Menumbuhkan Sikap Sosial Peserta Didik

Diperbarui: 30 Oktober 2022   20:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan merupakan hal penting bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan intelektual. menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan. Pendidikan dalam arti luas adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu atau pribadi dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial politik dan sosial budaya. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala linngkungan dan sepanjang hidup (Rustam Efendy Rasyid, 2022: 2).

Bagi manusia, pendidikan tidak hanya terpaku pada ruang kelas saja, artinya pendidikan dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja. Pada saat manusia dilahirkan proses pendidikan sudah berlangsung yang mana proses sosialisasi pertama dilakukan oleh keluarga. Fuller dan Jacobs mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sekolah (Kamanto Sunarto, 2004: 24). Keluarga sebagai agen pertama dalam mengajarkan anak tentang bagaimana bertingkah laku dimasyarakat. Manusia selalu berkembang secara bertahap melalui interaksi yang dilakukan dengan masyarakat.

Agen sosialisasi kedua yaitu kelompok bermain, baik kerabat, tetangga, dan teman sekolah. Dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya (Kamanto Sunarto, 2004: 25). Teman sebaya dapat mempengaruhi anak dalam bertingkah laku dimasyarakat. Jika teman sebaya anak memiliki sikap yang dapat merugikan orang lain, maka tidak menutup kemungkinan anak juga akan melakukan hal serupa, seperti perilaku yang menyimpang. Namun sebaliknya, jika teman sebaya memiliki sikap positif maka sang anak juga akan berperilaku yang serupa. Dengan demikian, teman sebaya sangat dapat menjadi pengaruh yang besar bagi perkembangan anak dalam bermasyarakat.

Agen sosialisasi terakhir yaitu sekolah formal, mulai dari SD, SMP, SMA sederajat. Dreeben, 1998 berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah bukan hanya membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifitas (specificity). Di sekolah anak berinteraksi dengan banyak pihak, seperti teman sebaya, guru, staff sekolah, dan lain-lain. Sekolah formal sangat berperan penting untuk mengendalikan karakter anak supaya bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.

Pendidikan menurut UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat (1) tentang sistem pendidikan nasional mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Horton dan Hunt (1987) menyebutkan fungsi nyata dalam lembaga pendidikan, (1) menanamkan keterampilan yang diperlukan untuk ikut ambil bagian demokrasi, (2) mengembangkan bakat yang dimiliki tiap orang demi kepentingan pribadi dan masyarakat, (3) mempersiapkan anggota masyarakat untuk dapat mencari nafkah, (4) melestarikan kebudayaan.

Selain fungsi, tentu saja pendidikan memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah bagi kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan mempunyai dua fungsi, yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan (Husamah, 2019: 36). Pendidikan disuatu negara dianggap sebagai nilai yang penting karena dengan meningkatnya kecerdasan manusia maka dapat dikatakan sebagai keberhasilan suatu negara dalam pembangunan sumber daya manusia.

 Dalam mencapai tujuan pendidikan di Indonesia, terdapat kurikulum yang dapat membantu dalam mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat menjalankan kehidupannya dimasyarakat. Kurikulum dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah. Secara teoritis dan praktik kurikulum membantu pendidikan membentuk kekuatan yang dinamis untuk menghasilkan output. Output sebagai hasil dari interaksi antar mata pelajaran yang termuat didalam kurikulum berupa tercapainya tujuan pendidikan. Hal inilah yang dikatakan bahwa kurikulum sangat mempengaruhi suatu lembaga pendidikan sebagai rencana pendidikan menuju tercapainya tujuan pendidikan maupun lembaga pendidikan (Irma Agustiana dan Gilang Hasbi Asshidiqi, 2021: 29).

Di Indonesia kurikulum mengalami beberapa perubahan dalam sejarah perkembangannya. Kurikulum pertama yaitu Kurikulum 1947 "Rentjana Pelajaran 1947". Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Kemudian kurikulum mengalami perubahan yaitu Kurikulum 1952 "Rentjana Pelajaran Terurai 1952". Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Selanjutnya kurikulum berganti menjadi Kurikulum 1964 "Rentjana Pendidikan 1964", kurikulum 1968, kurikulum 1975, Kurikulum 1984 "Kurikulum 1975 yang disempurnakan", Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 "KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)", Kurikulum 2006 "KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)", kurikulum 2013.

Setelah kurang lebih 8 tahun kurikulum 2013 diterapkan, Kurikulum Merdeka diluncurkan Mendikburistek pada Februari 2022 lalu sebagai salah satu program Merdeka Belajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Kurikulum Merdeka berfokus pada materi yang esensial dan pada pengembangan karakter Profil Pelajar Pancasila. Menteri Nadiem menyebutkan beberapa keunggulan Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih sederhana dan mendalam karena kurikulum ini akan fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya. Kemudian, tenaga pendidik dan peserta didik akan lebih merdeka karena bagi peserta didik, tidak ada program peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Sedangkan bagi guru, mereka akan mengajar sesuai tahapan capaian dan perkembangan peserta didik. Lalu sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik (kemendikbud.go.id).

Dalam pelaksanaan kurikulum merdeka, menteri pendidikan Nadiem Makarim membuat berbagai program salah satunya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila yaitu Projek Lintas Disiplin Ilmu yang kontekstual dan berbasis pada kebutuhan masyarakat atau permasalahan di lingkungan satuan pendidikan. Pada pendidikan kesetaraan berupa projek pemberdayaan dan keterampilan berbasis profil Pelajar Pancasila. Projek penguatan profil pelajar Pancasila, sebagai salah satu sarana pencapaian profil pelajar Pancasila, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk "mengalami pengetahuan" sebagai proses penguatan karakter sekaligus kesempatan untuk belajar dari lingkungan sekitarnya. Dalam kegiatan projek profil ini, peserta didik memiliki kesempatan untuk mempelajari tema-tema atau isu penting seperti perubahan iklim, anti radikalisme, kesehatan mental, budaya, wirausaha, teknologi, dan kehidupan berdemokrasi sehingga peserta didik dapat melakukan aksi nyata dalam menjawab isu-isu tersebut sesuai dengan tahapan belajar dan kebutuhannya (Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, 2022: 12-14).

Projek yang dilakukan memiliki beberapa tema yang dapat dipilih, seperti tema kewirausahaan, kearifan lokal, dan lain-lain. Dari tema tersebut difokuskan pada kegiatan yaitu dapat berupa pembuatan produk, drama, pembuatan poster ajakan dan masih banyak lagi. Dalam pelaksanaannya, setiap kelas diberi dua sampai tiga guru pembimbing untuk membimbing peserta didik selama projek berlangsung kurang lebih 2-3 bulan untuk 1 projek. Sebagai contoh, guru pembimbing terlebih dahulu menginstruksikan peserta didik untuk membagi dalam beberapa kelompok. Kemudian setiap kelompok mulai membuat proposal yang akan digunakan sebagai awal untuk menjalankan projek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline