Lihat ke Halaman Asli

Hasnaa Durramufiida

S1 Perencanaaan Wilayah dan Kota

Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur di Wilayah 3T: Tantangan atau Peluang?

Diperbarui: 17 September 2024   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pembangunan ekonomi yang inklusif menjadi salah satu prioritas utama dalam menciptakan keseimbangan pertumbuhan antarwilayah di Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui program Nawacita memprioritaskan pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah yang tergolong kawasan 3T, Terluar, Terpencil, dan Tertinggal. Penguatan infrastruktur di wilayah 3T menjadi salah satu strategi utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan mempererat akselerasi pembangunan di kawasan yang selama ini kurang terjangkau oleh pemerintah. Jadi, apakah hal ini akan menjadi tantangan? Atau malah jadi peluang?

Tantangan Infrastruktur di Wilayah 3T 

Infrastruktur di wilayah 3T, umumnya masih tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia. Hal ini terlihat dari minimnya akses transportasi, keterbatasan jaringan listrik, rendahnya akses terhadap teknologi informasi, serta infrastruktur pendukung lain seperti air bersih, dan sarana kesehatan. Berikut beberapa tantangan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di wilayah 3T.

1. Keterbatasan Akses Geografis dan Kondisi Alam

Wilayah 3T sering kali memiliki kondisi geografis yang sulit seperti daerah kepulauan, pegunungan, atau hutan yang lebat. Sehingga hal tersebut membuat pembangunan infrastruktur lebih kompleks dan high cost. Contohnya wilayah Papua dan Papua Barat. Menurut Kementrian PUPR, biaya pembangunan jalan di Papua mencapai 10-15 miliar per kilometer, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional berkisar Rp 5-7 miliar per kilometer.

2. Keterbatasan Anggaran Pemerintah

Meskipun pembangunan infrastruktur di wilayah 3T merupakan prioritas, alokasi anggaran pemerintah untuk daerah ini masih terbatas. Ini dikarenakan wilayah 3T memerlukan investor besar sementara tingkat pengembalian ekonomi jangka pendek masih rendah. Sebagian besar proyek infrastruktur di wilayah-wilayah 3T membutuhkan dukungan finansial dari pemerintah pusat karena investor swasta cenderung enggan berinvestasi karena risiko ekonomi yang tinggi. Laporan dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa alokasi dana infrastruktur untuk wilayah 3T pada tahun 2021 hanya sekitar 5% dari total anggaran infrastruktur nasional, yang menyulitkan percepatan pembangunan. 

3. Sumber Daya Manusia yang Terbatas

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di wilayah 3T cenderung lebih rendah dibandingkan wilayah lain. Hal ini menyebabkan wilayah 3T sering kali menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk mendukung pembangunan. Rendahnya tingkat pendidikan, dan arus migrasi tenaga kerja dari wilayah ini ke daerah yang lebih berkembang juga menyebabkan defisit SDM lokal yang potensial.

4. Kurangnya Keterlibatan Sektor Swasta

Seperti yang disebutkan dalam poin 2, investasi dari sektor swasta masih sangat minim terutama karena masalah keterbatasan infrastruktur yang sudah ada, pasar yang kecil, dan rendahnya daya beli masyarakat. Kondisi ini membuat para investor ragu menanamkan investasi karena risiko ekonomi yang tinggi. Padahal melalui skema public-private-partnership, sektor swasta dapat mempercepat pembangunan.

5. Keberlanjutan dan Pemeliharaan Infrastruktur Salah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline