Lihat ke Halaman Asli

Hasna Athaya

Mahasiswa

Cyberbullying: Salah Warganet atau Pengunggah Konten?

Diperbarui: 11 November 2020   22:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar diambil dari film Cyberbully (2015) (https://www.channel4.com/programmes/cyberbully)

Pernahkah Anda menghabiskan waktu berjam-jam di hadapan layar ponsel hanya untuk memutuskan apakah akan atau tidak akan mengunggah sesuatu, baik foto diri dan pasangan, foto pemandangan, foto hewan peliharaan, maupun foto makanan dan minuman kesukaan?

Hidup di era serba bisa membuat setiap pengguna teknologi, khususnya media sosial, merasa memiliki kontrol atas segalanya, seolah-olah terdapat sekat tinggi antara kehidupan dunia nyata dan dunia maya. Setiap dari kita berlomba-lomba menampilkan sisi terbaik dari hidup kita di berbagai platform, berpikir lama dengan harapan siapa pun yang melihatnya akan bersimpati, kagum, dan terkesan. Ketika harapan tersebut tidak sesuai kenyataan, unggahan yang diharapkan menuai pujian justru dipenuhi hujatan, kita akan mulai bertanya-tanya: salahku atau salah mereka?

Bertahun-tahun isu mengenai cyberbullying atau yang disebut dengan perundungan dunia maya menjadi perhatian di berbagai belahan dunia. Jumlah warganet (KBBI: akronim dari warga internet; orang yang aktif menggunakan internet) yang terus bertambah dari waktu ke waktu merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari. Karena berasal dari berbagai daerah, usia, dan kalangan, setiap warganet memiliki standar moral yang berbeda-beda. Tidak mengherankan bila setiap harinya selalu hadir unggahan di media sosial yang menuai kontroversi dan memecah warganet menjadi dua golongan—yang mencemooh karena menganggapnya tidak sesuai dengan standar moral yang mereka miliki dan yang menghardik pencemooh karena menganggap unggahan tersebut wajar dan tidak bertentangan dengan standar moral yang ada.

Semua hal yang ditulis warganet di media sosial memiliki jejak digital yang bisa diakses kapan pun, dimana pun, dan oleh siapa pun. You are what you write. Selain mencerminkan diri sendiri, apa pun yang kita tulis di media sosial juga merepresentasikan negara tempat kita berada. Harapan negeri ini untuk dipandang lebih baik di mata dunia ada di pundak para milenial dan generasi Z, pengguna terbanyak media sosial berdasarkan survei websindo.com tahun 2019.

Jika semua dari kita berpedoman teguh pada Pancasila sebagai ideologi bangsa, tindakan kekerasan dunia maya seperti cyberbullying tidak akan terjadi. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Menurut sila ke-4 Pancasila tersebut, setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam mengungkapkan pendapat. Namun yang perlu diingat adalah kebebasan mengemukakan pendapat juga memiliki batasan. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketika kita menemukan unggahan di media sosial yang tidak sesuai dengan standar moral yang kita anut, meskipun tinggal di negara yang menjunjung tinggi demokrasi, kita tidak memiliki hak sedikit pun untuk menyebabkan orang lain merasa malu, bersalah, dan tertekan. Hal yang sama juga berlaku bagi pengunggah konten. Dengan adanya penentangan cyberbullying, bukan berarti kita diberikan kebabasan seluas-luasnya untuk mengunggah apa pun yang kita inginkan.

Setiap melakukan interaksi di media sosial, baik sebagai warganet maupun pengunggah konten, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah yang saya lakukan sesuai dengan lima poin dalam Pancasila?

Ketika memiliki hal menarik yang akan diunggah, tanyakan di lubuk hati yang terdalam. Berdasarkan sila pertama, apakah sudah sesuai dengan ajaran Tuhan dalam agama saya? Berdasarkan sila kedua, apakah mencerminkan sikap saling menghargai, menghormati, sesuai dengan adab, dan tidak melanggar norma? Berdasarkan sila ketiga, apakah tidak akan menimbulkan perpecahan? Berdasarkan sila keempat, apakah tidak melanggar batasan kebebasan berpendapat? Berdasarkan sila kelima, apakah mewujudkan perbuatan yang luhur dan tidak merugikan kepentingan umum?

Sering kita temui unggahan yang tidak melanggar satu pun poin di dalam Pancasila, namun tanpa disangka, dipenuhi komentar-komentar kejam yang bersifat menyerang pengunggah konten. Fakta bahwa satu komentar negatif mengalahkan seluruh komentar positif sering kali diabaikan. Dampaknya terhadap pengunggah konten bermacam-macam: menimbulkan perasaan malu, bersalah, panik, tertekan, menyebabkan penyakit mental, hingga hilangnya nyawa.

Tidak semua warganet menyadari dampak dari perbuatan negatifnya, dengan anggapan bahwa apa yang disampaikannya tidak akan memiliki pengaruh terhadap kondisi pengunggah konten. Oleh sebab itu, ketika ingin meninggalkan komentar, baik di platform teman dekat, keluarga, kolega, guru, atasan, selebritas, presiden, maupun masyarakat yang tidak kita kenal, kembalilah kepada lima poin dalam Pancasila. Tanyakan pada diri sendiri, apakah mencerminkan ajaran agama? Apakah menjunjung tinggi nilai kemanusiaan? Apakah tidak menimbulkan perpecahan? Apakah menggunakan hak kebebasan berpendapat dengan semestinya? Apakah mencerminkan keadilan dan tidak merugikan kepentingan umum?

Karena pada dasarnya, tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang pantas mengalami perundungan, baik secara fisik, verbal, mental, maupun digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline