Sumbangan untuk sekuel selanjutnya:
Satria gula kelapa, duduk dengan tenang dengan posisi layaknya orang bertapa. posisinya hampir sama dengan posisi ksatria penjaga hutan hutan. Ketika duduk pertama kali, lantai goa itu terasa dingin. Namun karena dia ingin mendapatkan restu dari ksatria itu untuk memenangkan sayembara (karena rumornya begitu), maka dia kuatkan tekadnya untuk menunggu sambil bersemedi.
Menit demi menit berlalu, tak juga orang tua itu berhenti bersemedi. 'Jangan-jangan orang tua itu meninggal dalam posisi duduk', kata satria gula kelapa sambil membuka matanya dan melihat ke orang tua itu. 'Bagaimana kalau dia segar bugar....,agh, nanti saya dikira lancang dan gak tahu aturan', lanjut pikirannya. Akhirnya dia melanjutkan penantiannya. Tak lama kemudian, pikirannya kembali menyelinap. 'Tapi kalau lama-lama disini, saya bisa telat datang ke sayembara. Bisa-bisa, saya datang, sayembara telah usai'. Namun pikiran itu kembali ditepisnya,'Seingatku, sayembara masih 2-3 kali matahari terbit deh'. Dilanjutkan lagi penantiannya.
Jam demi jam berlalu. Namun tiada gerak sedikitpun dari orang tua itu. 'Sampai kapan saya akan begini ini, menunggu tanpa ada kepastian', gemuruh suara pikiran satria gula kelapa. Hal itu juga lama-lama mengikis keteguhan hati satria gula kelapa untuk melakukan penantian. Dia sebenarnya takut, apabila dia bangun dari semedinya dan membangunkan orang tua itu, dia akan marah dan peluang untuk mendapatkan restu darinya akan sirna seketika. Disisi lain, bila dia berlama-lama di dalam goa itu, dia akan ketinggalan sayembara. Demikian pergumulan dan tarik ulur yang berlangsung dalam kepalanya.
Hal itu membuat dia gelisah dan tidak tentram dalam semedinya. Hal itu terlihat dari situasi yang membuat tangannya menggaruk-garuk kepala meskipun tidak gatal. Kadang kala terlihat dahinya berkerut, menandakan dia sedang berpikir keras. suatu situasi yang benar-benar tidak enak buat melakukan semedi. Disisi lain dia juga berfikir bagaimana bila orang tua itu tidak memberinya restu, apa tidak gila namanya, dia sudah lama-lama menunggu dan berjuang untuk sampai kesini. Begitu suara fikirannya bergemuruh, seperti gemuruh suara air terjun yang dia dengar.
Namun, sebenarnya jauh dari pengetahuan satria gula kelapa, jauh di dalam hati ksatria penjaga hutan dia meneteskan bulir-bulir air matanya. 'Duh, gusti sampai kapan ini akan berakhir?, mereka selayaknya memohon apapun padamu, bukan datang jauh-jauh dan susah payah untuk menemui dan meminta padaku...., Diri yang renta dan tak berdaya ini adalah sebuah bukti bahwa tiada yang hebat dan perkasa melebihimu'.
'Sampai kapan derita yang berkepanjangan ini akan berakhir?, namun itu adalah sebuah hal yang tabu dan tak pantas saya pertanyakan sebagai manusia ciptaanmu, duh Gusti penguasa alam semesta', ratap ksatria penjaga hutan itu disertai dengan bulir-bulir air mata yang jatuh ke pangkuannya.
Kesedihan ksatria itu sangatlah beralasan. Pada suatu ketika dia meluangkan waktu pergi ke kotaraja negeri midel of nower (baca: antah berantah) dengan menyamar. Diapun memasuki sebuah warung, dan pada saat itu dia mendengar percakapan mengenai rumor yang berkembang di masyarakat yang membuat dirinya gundah, gulana dan menderita tekanan batin. Karena bagaimanapun yang dilakukannya tiada pernah dimaksudkan untuk menerima kenyataan seperti itu.
'Egh, kamu tahu gak tentang ksatria penjaga hutan', tanya pewarung kepada teman2nya.
'Iya, tahulah, siapa yang gak tahu dia, namanya tersohor seantero bumi midel ofnower', jawab temannya singkat.
'Kalau itu, semua orang sudah tahu. ini ada yang lain tentang dia kok', sambung pewarung yang pertama.