Lihat ke Halaman Asli

Hasbi Aswar

Akademisi

Normalisasi Arab - Israel Bukan untuk Palestina

Diperbarui: 26 Juli 2022   05:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

The Deal of Century yang menjadi simbol normalisasi Arab -- Israel sejak tahun 2020 lalu menjadi salah satu cerita penting perjalanan isu hubungan Arab -- Israel, dan penjajahan Israel terhadap Palestina yang telah terjadi hampir satu abad lamanya.

Normalisasi ini diharapkan bukan hanya dapat menjalin hubungan positif, kerjasama di berbagai bidang dan level antara Arab dan Israel, tapi juga akan membuat negara -- negara Arab dapat lebih mudah membujuk Israel agar menahan berbagai kekerasan terhadap kesewenang -- wenanganya terhadap masyarakat Palestina. Logikanya sederhana, berteman baik akan lebih legitimate dan mudah menyelesaikan masalah daripada bermusuhan.

Tapi, publik akan mengamati apakah memang narasi yang dibangun untuk menjustifikasi normalisasi ini akan betul terjadi, ataukah hanya sekedar pemanis belaka untuk menutupi kepentingan -- kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan negara -- negara Arab.

Di lihat dari proses, aktor dan kepentingan yang melingkupi normalisasi ini, kuat dugaan bahwa narasi optimistik terhadap masa depan Palestina tidak akan terwujud atau hanya isapan jempol belaka.

Pertama, Dari perjanjian damai yang melibatkan Bahrain, Uni Emirat Arab tersebut, tidak ada klausul yang mengangkat isu tentang masa depan Palestina.

Mungkin ada yang berpendapat, klausul itu hanya formalitas saja, sebab saat hubungan interdependensi telah terjadi, negara Arab akan menjadikan hubungan itu sebagai alat untuk menekan Israel.

Tapi kita tidak boleh lupa, bahwa selama ini, Israel pun hidup matinya sangat bergantung pada negara -- negara Muslim di sekitarnya: ruang udara, darat, laut untuk melakukan ekspor impor barang. Termasuk kebutuhan dasar sehari -- hari mereka pun bergantung pada negara -- negara lain seperti air minum, minyak, gas, kacang -- kacangan, atau bahan -- bahan makanan yang lain (United States Department of Agriculture, 2022), termasuk dalam aspek keamanan regional.

Terbukti, hubungan intensif  Mesir, Yordania dan Turki dengan Israel selama puluhan tahun tidak mampu berkontribusi positif terhadap kondisi Palestina yang terus tergusur, didiskriminasi, dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Bahkan, meskipun, Israel secara geostrategis adalah negara yang rentan (lacks of strategic depth), nyatanya tidak ada yang mampu melawan dan mengambil sikap tegas terhadap Israel (Khan, 2020).

Alasannya adalah sejak dibentuk oleh Inggris dan dideklarasikan oleh PBB tahun 1948, negara -- negara maju telah habis -- habisan  mem back -- up Israel. Negara ini ibaratnya menjadi anak emas AS saat ini dengan bantuan militer dan finansial terbesar setiap tahunnya (Sharp, 2022). Bukan hanya itu, hegemoni AS di Tim-Teng melalui kebijakan Israel first menyediakan keamanan penuh bagi Israel. Jika ada rezim yang terlihat mengancam, akan dilengserkan segera. Contohnya, kudeta Dr. Mohammad Mursi tahun 2013 oleh militer Mesir antek AS.

Kedua, Normalisasi Arab -- Israel memang bukanlah untuk tujuan perdamaian Israel -- Palestina, tapi murni kepentingan pragmatis negara -- negara Arab. Mereka terancam oleh Iran; terancam oleh gerakan oposisi dan gerakan politik Islam yang menguat di Arab sejak era musim semi Arab; ditambah lagi tergiur oleh insentif -- insentif yang dijanjikan oleh AS dalam normalisasi ini.  Insentif -- insentif ini telah didapatkan juga oleh Mesir dan Yordania saat bersedia menjalin hubungan baik dengan Israel (Muasher, 2021).

Jadi, Yang diuntungkan dari normalisasi ini sebenarnya bukan Arab, bukan pula Palestina tapi, kepentingan Israel dan AS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline