Secara Admnistratif Candi Morangan terletak di Dusun Morangan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini terletak di ujung utara provinsi Yogyakarta, jika ditempuh dari pusat kota Yogyakarta kurang lebih memakan waktu sekitar 46 menit menuju lokasi. Candi yang ditemukan pada tahun 1884 dan dalam kondisi tertutup semak belukar dan sudah mulai runtuh. Kondisi candi yang seperti itu tidak lepas dari pengaruh alam, salah satunya adalah letusan gunung merapi. Hal ini dibuktikan dengan kondisi lingkungan sekitar candi yang terdiri atas batu-batu dan pasir yang dibawa oleh luapan sungai Gendol. (Yogyakarta., 2021).
Kisaran kapan candi Morangan dibangun belum ada bukti yang pasti, karena tidak ada prasasti atau literatur yang menyebutkan kapan candi ini di bangun. Akan tetapi, ada pendapat yang menyatakan bahwa candi Morangan di bangun pada abad ke-9 bersamaan dengan pembangunan candi Prambanan, hal ini dibuktikan dengan adanya kemiripan relief yang termuat di candi Morangan dengan candi Prambanan.
Secara konstruktif, candi Morangan terdiri atas candi induk dan candi prewara (pengiring). Adanya temuan Yoni dan arca Lembu Nandi (tunggangan Dewa Siwa) menyiratkan bahwa candi ini beraliran Hindu-Siwa. Candi morangan masih menyisakan misteri terkait dengan kegunaan atau fungsinya, apakah sebagai pendermaan raja atau justru tempat para Brahma menggembleng putra-putri terbaik yang dimiliki kerajaan Mataram Kuno?
Apabila sebagai pendermaan raja, tidak ada Arca raja atau caitya-gṛha yang menyimpan arca dewa-dewi atau objek penyembahan untuk kegiatan keagamaan masyarakat sekitar candi Morangan (Aditya B. Perdana, 2020). Namun, bila dilihat berdasarkan relief yang tergambar pada panil-panil candi, justru diasumsikan sebagai tempat pendidikan, hal ini didasarkan pada adanya relief tiga orang Brahma yang membawa lontar pustaka. Relief sendiri merupakan bentuk viasualisasi yang menggambarkan cerita keagamaan atau cerita yang bersifat pendidikan moral, cerita dipahatkan dalam panil-panil yang berada di dinding luar bangunan candi, menyambung dari panil ke panil berikutnya secara horizontal.
Selain itu, adanya relief juga menggambarkan tentang kondisi masyarakat atau lingkungan sekitar yang sejaman (Istari, 2015). Dalam relief yang termuat di candi ini, terdapat relief yang berkisah tentang seekor Harimau yang tertipu oleh seekor kambing. Relief tersebut merupakan bagian dari cerita Tantri Kamandaka yang biasanya ditemui pada candi-candi yang berlatar Budha (Cagar Budaya DIY).
Penggambaran binatang pada relief candi berfungsi sebagai bagian dari pengkisahan cerita yang berkaitan dengan suatu ajaran, pengkisahan cerita fabel atau perlambangan. Cerita fabel sendiri mengandung ajaran moral, etika, dan pendidikan, sementara untuk perlambangannya adalah binatang-binatang yang dianggap mengandung kekuatan, kepahlawanan, dan kesuburan, serta kendaraan dewa (Istari, 2015).
Selain itu, relef lain pada candi ini berisi para kaum agamawan dengan pakaian yang sederhana, sehingga mengidentikkan dengan tempat suci para kaum Brahma. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya relief tiga orang resi sedang membawa pustaka lontar pustaka (kitab suci) dan uptala (teratai biru) (Anonim, n.d.).
Relief resi membawa lontar pustaka ini menggambarkan tokoh-tokoh cendekiawan dan pada masa itu budaya menulis pada daun lontar sudah dikenal. Sebagaimana kutipan yang terdapat pada lontar Merapi-Merbabu, yaitu: