[caption id="attachment_328206" align="aligncenter" width="448" caption="Foto diambil dari:www.harian-komentar.com"][/caption]
Saya memergoki seorang anak sedang ngelem di taman, tepatnya di pertigaan lampu merah Cicaheum, Kota Bandung—dua hari lalu. Saya sengaja berdiri di atas trotoar di samping taman itu—karena sedang menunggu seorang teman. Bagi saya, pemandangan seorang anak seumuran SD yang sedang menghisap lem perekat serba guna itu—adalah “sesuatu”. Setidak-tidaknya—meminjam istilah Pepih Nugraha adalah semacam ide buat menulis.
Nah, seorang anak berpakaian lusuh di taman yang saya pergoki sore itu—apalagi kalau bukan ide—walau saya baru bisa menulisnya hari ini. Di taman itu, saya perhatikan anak itu ditemani dua orang lagi. Tetapi kawannya itu, mereka sudah lebih dahulu “terkapar”. Itu pengaruh ngelem atau bukan, saya persisnya tidak tahu. Saya hanya perhatikan anak yang masih ON itu.
Anak itu duduk di atas rumput hijau. Ia menghadap dua temannya yang lebih dulu mabuk. Tangan kanannya memegangi lem sambil menghisap-hisap—sepertinya ia keenakan saya lihat. Kedua matanya refleks terpejam terbuka, terpejam terbuka. Begitu seterusnya. Lem yang ia hisap memang saya tak melihat secara jelas bentuknya seperti apa—sebab lemnya itu ditutupi ujung baju kaus yang menjuntai di lehernya.
Taman itu rupanya memang tempat yang nyaman buat para penghisap lem. Selain rimbun oleh pepohonan, ya siapa juga yang mau ngelarang-larang atau malah mengusir orang yang berada di taman. Di seberang jalan—memang kerap terdapat satu dua Polantas yang berjaga. Tapi apa iya, petugas itu mau iseng meriksa isi taman. Saya yakin tidak. Pun saya—rasanya tak kuasa, misalnya menegur anak yang sedang khusyuk melakukan ibadah rutinnya itu.
Jarak saya dengan anak itu tak jauh. Lima atau tujuh langkah kaki lah. Awalnya, saya mau abadikan anak itu lewat ponsel pintar saya. Tapi saya ragu. Ragu kalau dia—yang notabene sedang asyik masyuk itu terkejut dan lari tunggang-langgang—karena mungkin saya dikira pewarta. Beberapa kali berpikir, ya sudah lebih baik anak itu tidak saya foto. Cukup jadi memori di otak saja.
Bukan sekali itu saja saya memergoki anak-anak Kota Kembang menghisap lem super murah sekaligus mudah didapatkan itu. Suatu malam, dua bulan lalu saya sengaja jalan-jalan ke kawasan jalan Braga. Saya sampai di kawasan yang sebagian besar bangunannya bergaya Eropa itu sekitar pukul 23.00. Lumayan ramai. Maklum akhir pekan. Suasana kian semarak karena suara musik menguar dari salah satu bangunan di kawasan bersejarah itu.
Tepat di samping bangunan tempat Bar dan Biliar itulah saya memergoki seorang anak sedang bersandar di sebuah toko yang tutup sambil menghisap lem. Saking penasarannya, saya sampai dua kali bolak-balik hanya ingin meyakinkan apakah benar yang anak hisap itu lem. Dan benar, ia tutupi lem itu dengan baju kausnya. Play banget pokoknya anak itu.
Itu baru dua kawasan di Kota Bandung yang saya pergoki sebagai tempat anak-anak menghisap lem. Tempat lain saya belum tahu. Pastinya, biasanya di tiap simpang lampu merah—utamanya yang berjamur pengamen dan anak jalanan, tentu kawasan tersebut tempat paling hot buat mereka ngelem. Saya kira cukuplah sudah kota ini disebut the city of pig. Apa mau menyusul kota yang dipimpin Ridwan Kamil ini disebut kota para penghisap lem?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H