*Ditulis dalam rangka refleksi Peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-75*
Salah satu faktor pendukung agar tujuan dari sebuah kelompok/komunitas dapat dicapai dan sukses adalah kesolidan anggota komunitas tersebut.
Kesolidan dapat dibentuk dengan berbagai cara dan metode. Salah satunya adalah dengan memperkuat kesepemahaman pada visi, misi, tujuan dan cita-cita pada sesuatu hal yang ingin dicapai dan diraih bersama-sama.
Hal ini dapat kita lihat pada era pra-kemerdekaan, dimana ide dan gagasan sebagai bangsa yang merdeka terus disebarluaskan. Meskipun sebelumnya berbagai usaha dan gerakan perlawanan kemerdekaan kepada penjajah terus dilakukan.
Namun sebelumnya banyak mengalami kegagalan karena sifatnya sporadis dan bersifat kedaerahan. Maka kemudian gema kemerdekaan disebarkan dengan lebih masif dan dengan skala lebih luas meliputi seluruh wilayah nusantara atau sebelumnya yang lebih dikenal dengan wilayah Hindia Belanda.
Salah satunya dilakukan melalui peran berbagai macam organisasi, baik organisasi kepemudaan, perdagangan, keagamamaan, bahkan organisasi politik. Yang mana dari sini kemudian berhasil membangun kesamaan ide dan cita-cita untuk merdeka yang diwujudkan dalam gerakan untuk lepas dari penjajah dengan lebih terorganisir dan dalam sekala yang lebih luas.
Selanjutnya, kesamaan rasa atau solidaritas sebagai bangsa yang terjajah yang diperlakukan dengan tidak adil, semena-mena dan terzolimi berhasil meningkatkan emosional (baca: kemarahan) dari masyarakat Hindia-Belanda waktu itu.
Bahkan dari tingginya tingkat emosional kemudian mampu melipatgandakan keberanian dan sikap rela berkorban dari setiap diri rakyat Hindia-Belanda, yang menjadi cikal bakal Bangsa Indonesia, mulai dari rela mengorbankan harta benda bahkan sampai dengan jiwa raga mereka atas nama demi mewujudkan cita2 kemerdekaan & bisa terlepas dari belenggu penjajahan.
Dari perasaan sebagai korban dari tindakan dan perilaku penjajah ini kemudian mampu mengobarkan kemarahan dalam dada dan jiwa bangsa Indonesia yang kemudian secara serempak dan bersama-sama menjadikan penjajah sebagai musuh bersama.
Stephen Glisason dalam bukunya berjudul Emotion and Feelings menulis bahwa kemarahan adalah emosi manusia yang paling dominan. Dimana pada dasarnya kemarahan bersifat mengganggu dan bisa berbahaya. Kemarahan dapat diekspresikan melalui tampilan dan bahkan dengan serangan yang bersifat fisik.
Semua interaksi manusia dipengaruhi oleh ancaman amarah sehingga banyak kekuatan otak yang kemudian dikhususkan untuk pengelolaan amarah.