Pasca Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Nusa Dua Bali pada 14-17 Mei yang lalu, forum tertinggi DPP Partai Golkar tersebut akhirnya memilih Setya Novanto sebagai ketua umum. Hal ini setelah lawannya Ade Komaruddin menyatakan mudur dari pencalonan dalam putaran kedau, sehingga secara otomatis ketua Fraksi Partai Golkar tersebut kemudian ditetapkan sebagai ketua umum yang baru menggantikan Aburizal Bakrie.
Secara formal dalam proses suksesi politik tersebut berhasil menciptakan iklim politik baru dengan wajah demokrasi yang lebih terbuka bagi tradisi politik partai di Indonesia. Keberhasilan ini menuai banyak pujian, dan dianggap sebagai momentum bangkitnya partai yang mengalami perpecahan dan keterpurukan tersebut. Namun hal itu tidak serta merta membuat publik memberikan begitu saja kepercayaan tersebut, bahkan sebaliknya malah menimbulkan satu kecurigaan dan keraguan.
Hal ini bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang wajar, setelah Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum. Mengingat Novanto merupakan politisi yang sangat kontroversial, politisi yang distigmatisasi oleh rakyat Indonesia sebagai orang yang “tidak bermoral” dan melanggar hukum.
Setelah penetapan ketua, dan berakhirnya segala persoalan di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut, kini menuai sorotan baru, dan ini akan menjadi babak baru bagi partai Golkar pasca Munaslub. Pertama adalah penetapan struktus kepengurusan yang mengundang banyak reaksi, pasalnya adalah munculnya nama-nama pimpinan yang masuk dalam jajaran pengurus yang memiliki cacat hukum dan moral publik. Mulai dari orang yang bernah didakwahkan melakukan perbuatan asusila, mereka yang dinyatakan sebagai koruptor, dipenjara hingga yang masih dalam proses hukum.
Pemaksaan nama-nama tersebut masuk dalam jajarn pimpinan partai tersebut, dianggap sebagai politik balas jasa dari Novanto sendiri, karena mereka (orang-orang yang cacat hukum tersebut) dianggap berjasa dalam memenangkan dirinya. Dan kabarnya hari ini (30/5/2016) akan diumumkan nama-nama struktur kepengurusan baru tersebut. Jika nama-nama yang cacat hukum tersebut tetap dipertahankan menjadi pimpinan partai, maka akan menjadi boomerang bagi Golkar ke depannya.
Tentu saja harapan besar rakyat Indonesia umumnya dan kader-kader partai Golkar khususnya menginginkan partai tersebut menjadi partai yang berwibawa, menjadi partai yang kuat sebagai wujud kekuatan civil society di Indonesia bahkan di dunia, menjadi partai yang konsen dalam memperjuangkan aspirasi dan suara rakyat, menjadi partai yang disegani dan dihormati di Indonesia. Dengan itu, dibutuhkan satu sikap profesionalisme, sikap meritokrasi, sikap bijak sana dalam membaca consensus politik tanah air, sikap kritis dan jeli dalam membaca arus opini dan issu public yang keluar dari partai Golkar.
Kedepan, Partai Golkar akan menghadapi banyak tantangan politik, menghadapi tahun-tahun yang membutuhkan kecerdasan berpolitik dan mengambil tindakan politik bagi para pimpinan dan khususnya ketua umum partai, jika tidak maka Golkar akan semakin terpuruk dan menjadi partai yang tidak memiliki daya tarik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H