Lihat ke Halaman Asli

Agama, Pahala, dan Kopi yang Berbeda Cangkir

Diperbarui: 16 Mei 2017   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pahala itu koin atau derajat? Aku makin bimbang untuk mendefinisikan pahala. Para pendakwah dan ulama makin sering membicarakan pentingnya mengumpulkan pahala ketika masuk bulan Ramadhan. Disatu sisi perbanyak lah mengaji, sembahyang, dzikir, sadaqoh agar pahala dilipat gandakan, wah, aku pikir mungkin pahala itu seperti koin. “Pahala… pahala… pahala… pahala…” Suara itu bergemuruh di kepalaku.

Disatu sisi yang lain, para pendakwah selalu berceramah sholat berjamaah itu mendapatkan pahala 27 derajat. “Derajat apa ini? Lingkaran kah? Suhu kah? Atau yang lain”. Aku berpikir keras ketika membayangkan pahala itu seperti derajat atau koin, seperti apakah bentuknya kelak. Jika kelak pahala itu koin mungkin sebagai alat transaksi untuk masuk surga tuhan, jika kelak pahala itu derajat mungkin sebagai peningkat derajat hamba tuhan. Lagi-lagi wah, aku makin bingung.

Ketika berbuat kebaikan aku sempat menghitung-hitung pahala yang akan kuperoleh, ketika sedang sholat aku berpikir sudah ada di derajat mana aku di hadapan Tuhan, lagi-lagi wah, aku makin bingung. Tak bisa dipungkiri kebingungan ini membuatku jenuh untuk sembahyang, alhasil aku memandang beragama itu dibatasi oleh ruang dan waktu, dibatasi oleh waktu sholat dan masjid.

Tapi semua itu berubah setelah aku bertemu dengan Guru Spiritual, pemaparan mengenai agama itu menyeluruh telah mengubah paradigma yang salah tentang agama. Agama itu totalitas, sholat itu penting dan berdunia itu adalah bentuk aplikasi sholat yang kita lakukan, jadi keduanya tidak terpisahkan. Berdunia dan bekerja sebagai apapun itu juga termasuk ranah ibadah, bahkan masuk ke dalam sholat yang khusu’ jika kita kerjakan dengan seprofesional mungkin. Bentuk pahalanya adalah kita mendapatkan apresiasi dari lingkungan sekitar, contoh kecilnya adalah gaji dari atasan kita.

Membangun rumah tangga dengan orang yang kita cintai juga masuk koridor ibadah, bagaimana bisa sepasang pasutri tidak menjalankan cinta mereka lantas mereka berdua hanya lehe-leha dan malas-malasan, alhasil yang didapat adalah adzab. Adzab bentuknya tidak besok, melainkan sekarang, adzab rumah tangga contonhya, bertengkar, tidak harmonis, dan tidak saling percaya satu sama lain. Bentuk pahalanya adalah kebalikan dari adzab yang didapat.

Manusia sebagai apapun diibaratkan sebagai kumpulan gelas yang jika diisi oleh air, kopi, teh, susu, es kelapa, dan jamu tidak akan merubah sedikit pun rasa yang dituangkan ke dalam gelas tersebut. Berlaku sosial yang baik adalah suatu kemestian ibarat saling berlomba-lomna mempercantik wujud gelas, mempengaruhi, dan memberi warna terhadap lingkungan sekitar.

Malam ini di samping laptop ada sebuah cangkir berisi kopi, asapnya mengepul, dan aromanya meyeruak ke lubang hidung, kutenggak sedikit. Agar tidak terlalu panas kugunakan cangkir lain untuk memindah kopi, kutenggak lagi kopi yang sama di gelas lain, rasanya tidak berubah sedikit pun. Kopi itu tetap rasa kopi tanjung, hmm lebih nikmat, andai beragama seperti menengguk kopi dengan gelas yang berbeda. Mungkin tidak ada yang memperebutkan gelas dan cangkir, toh kopinya juga gak marah kok pake gelas apa aja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline