Lihat ke Halaman Asli

Haryo WB

Sinau Bareng

Duduk Perkara Intelijen Asing

Diperbarui: 12 Desember 2021   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lustrasi.(Shutterstock) 

Intelijen adalah kegiatan rahasia  yang ditujukan untuk memahami atau mengubah apa yang terjadi di luar negeri. Presiden Dwight D. Eisenhower menyebutnya 'keniscayaan yang tidak menyenangkan, namun sangat penting'. 

Bangsa yang ingin meproyeksikan kekuataannya di luar batas wilayahnya sendiri harus memandang melampaui cakrawala untuk mengetahui apa yang datang, untuk mencegah serangan terhadap rakyatnya. Bangsa itu harus mengantisipasi kejutan. 

Secara pribadi, saya  tidak terkejut dengan terungkapnya paspor palsu Ghassem Saberi Gilchalan yang saat ini diduga bagian dari operasi intelijen asing

Baca: Ghassem Saberi Gilchalan, Mengungkap Misi Rahasia Mata-Mata Asing

Sepanjang perjalanan sejarahnya, bangsa ini dari dulu sesungguhnya banyak intelijen asing beroperasi di Indonesia. CIA, KGB (saat ini disebut FSB) dan Mossad sampai musuh-musuh mereka juga beroperasi di Indonesia. 

Terhitung di era pemerintah kolonial Belanda, anggaran perang yang hampir habis ribuan tentara yang tewas mendorong Belanda untuk mengutus seorang orientalis bernama Christiaan Snouck Hugronje ke  dalam Perang Aceh (1873-1904).  Menyamar sebagai Abdul Ghaffar lalu akrab disapa Gopur, Snouck tiba di Aceh pada 6 Juli 1891 setelah wafatnya pemimpin gerilya Aceh Teungku Chik di Tiro (1836-1891). Ia tinggal di sana hanya sampai Februari 1892. Gopur pulang ke rumah Sangkana, seorang perempuan asal Cimahi yang dinikahinya sejak 1890. Ia menuangkan pemikiran dan pengalamannya selama di Aceh ke dalam De Atjehers ("Orang Aceh"), sebuah buku menjadi sumber informasi bagi pemerintah kolonial Belanda untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh. Jejak Gopur pun terendus hingga Cirebon.

Apa yang dilakukan Belanda melalui Gopur bukanlah hal istimewa. Hal serupa juga dilakukan oleh Amerika Serikat sejak Perang Dunia I, Perang Dunia II, hingga Perang Dingin.

David H. Price dalam "How The CIA and Pentagon Harnessed Anthropological Research during the Second World War and Cold War with Little Critical Notice" (2011), sebagian peneliti tersebut sadar telah bekerja untuk kebutuhan intelijen Amerika Serikat dan menganggap pekerjaan mereka bagian dari perjuangan melawan Nazi dan komunisme. 

Sebagian lainnya tak tahu telah dipekerjakan intelijen, mengingat rumitnya jalur pendanaan riset saat itu dan luasnya jejaring CIA di lembaga pendidikan. 

Dalam karyanya yang lain, Cold War Anthropology, the CIA, the Pentagon, and the Growth of Dual Use Anthropology (2016), Price mencatat bahwa di awal pembentukan pada 1947, CIA memiliki jejaring profesor di 50 kampus elite AS, termasuk Yale dan Harvard. Mereka bertugas mengarahkan mahasiswa-mahasiswa untuk menggeluti bidang studi dan topik penelitian tertentu yang mewakili kepentingan intelijen AS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline