Saat ini muncul perdebatan substansif mengenai revisi UU Anti Terorisme. Revisi tersebut dianggap sebagai kebutuhan utama bagi RI. Kebutuhan tersebut dirasakan pasca terjadinya serangkaian bom bunuh diri dan serangan terhadap institusi kepolisian.
Pemerintah dan DPR menyadari pentingnya revisi tersebut. Revisi akan menjadi basis penguatan preventif terhadap setiap potensi ancaman terorisme di RI. Penguatan preventif akan memastikan institusi lembaga hukum terkait dapat bertindak cepat dan mematikan benih ancaman terorisme.
Hanya saja, saat ini terjadi dua polemik antara pemerintah dan DPR. Polemik pertama berkaitan dengan definisi terorisme. Polemik ini berkaitan dengan perbedaan sudut pandang antara DPR dan Pemerintah mengenai batasan substansif mengenai sebuah tindakan terorisme.
Berkaitan dengan definisi, pemerintah dan DPR sebenarnya menyepakati bahwa terorisme merupakan ancaman bagi keselamatan bangsa, dan juga ancaman terhadap keamanan nasional. Kedua belah pihak menyepakati bahwa tindakan terorisme harus dicegah dan dilawan.
Hanya saja, terjadi perbedaan konseptual antara dua kubu. Kubu DPR menginginkan adanya teks alasan politik dan ideologis sebagai batasan terorisme. Namun, pemerintah menilai penjelasan batasan bisa berada dalam batang tubuh.
Sebenarnya, terorisme sebagai bagian dari tindakan kekerasan memang berbeda dengan tindakan kekerasan umum. Kekerasan dengan muatan ideologis tentu berbeda dengan kekerasaan umum yang terjadi di masyarakat.
Kita bisa mencoba memberikan sebuah analogi. Suatu ketika terjadi perampokan bank, dan perampokan bank tersebut disertai tindakan teror dan penyanderaan terhadap nasabah. Hanya saja, perampokan itu walaupun menimbulkan teror dan korban jiwa, namun tidak termasuk terorisme karena tiada motif ideologi.
Hemat saya, penguatan ide alasan ideologis dalam teks revisi merupakan sesuatu yang positif. Hal positif terjadi pada saat ada kejelasan landasan hukum, maka negara hanya bisa menyatakan sebuah tindakan sebagai wujud terorisme sesuai dengan definisi legal.
Polemik kedua berkaitan dengan pelibatan TNI. DPR dan pemerintah sebenarnya menyepakati mengenai pelibatan TNI, hanya saja gagasan itu memunculkan kritik dari masyarakat sipil.
Asosiasi masyarakat sipil menilai pelibatan TNI bermasalah secara norma politik. Hal itu dianggap tidak sesuai dengan amanat reformasI. Reformasi tahun 1998 menginginkan adanya pembatasan ruang lingkup TNI. Pembatasan tersebut untuk membedakan antara masa Orde Baru dengan Orde ReformasI.
Pada konteks ini, perdebatan ini belum menyentuh aspek substansif. Aspek itu berkaitan dengan sinergisasi antara TNI dan Polri. Sinergisasi menjadi hal penting sebab terorisme merupakan aksi yang menjadi ancaman terhadap keamanan nasional sebagai domain Polisi dan pertahanan nasional sebagai domain TNI, sehingga itu membutuhkan respon yang cepat.