Lihat ke Halaman Asli

Pesan Mbah Yai di Penghujung September

Diperbarui: 30 September 2024   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kekejaman PKI (republika)

Sore itu angin bertiup lembut di serambi pesantren, namun suasana tegang menyelimuti. Mbah Yai duduk di kursinya, dikelilingi oleh para santri senior yang hening, seakan menunggu sesuatu yang berat akan disampaikan. Mata Mbah Yai yang sayu menatap jauh, seperti menyelami kenangan lama yang menyakitkan.

“Jangan pernah lupakan peristiwa ini,” suaranya rendah tapi tegas, menggema di antara dinding pesantren. “Pemberontakan PKI bukan hanya soal G30/S di Jakarta. Sebelum itu, di Pedes, Perak, Jombang, tempat kelahiranku sekaligus pusat pengajian Abah, sudah ada tanda-tanda.”

Para santri yang duduk melingkar menahan napas. Mereka tahu cerita ini bukan sekadar cerita perang. Ini tentang keluarga, tentang pesantren, tentang iman yang diuji oleh kekejaman dan tipu daya. Mbah Yai menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan.

“Waktu itu, ada rapat rahasia yang diadakan PKI di Jombang. Tokoh mereka yang baru pulang dari luar negeri, membawa strategi baru. Mereka licik, menggelar ludruk di depan rumah sebagai kamuflase, seolah-olah tidak ada apa-apa. Tapi TNI sudah tahu.”

Salah satu santri memberanikan diri bertanya, “Bagaimana TNI tahu, Yai?”

Mbah Yai tersenyum tipis, “TNI waktu itu sangat waspada. Begitu mereka mencium gelagat, rumah itu langsung dikepung. Pemimpin PKI yang ada di sana menolak menyerah. Ia lebih memilih mati di tempat. Setelah penggerebekan, ditemukan daftar nama kyai yang menjadi sasaran mereka. Salah satunya, Abah saya.”

Sejenak, hening. Para santri tak menyangka betapa dekat bahaya itu pernah mengintai kehidupan Mbah Yai. Dalam hati, mereka bertanya-tanya, bagaimana rasanya hidup dalam ketakutan setiap hari, mengetahui bahwa ayahmu sendiri adalah salah satu target musuh?

“Setelah itu, para kyai mulai menghimpun kekuatan. Saat itu umat Islam terpecah antara NU dan Masyumi. Tapi ancaman ini membuat mereka bersatu. PKI waktu itu bukan hanya besar, tapi juga sangat terorganisir,” lanjut Mbah Yai, suaranya bergetar.

Sejarah mengukir kisah kelam tentang pengaruh PKI yang menjalar hingga ke pelosok desa. Para buruh dan petani yang merasa ditindas, dengan mudah terpikat oleh janji-janji PKI tentang tanah dan keadilan sosial. Mereka tidak tahu, di balik janji itu, tersimpan agenda yang lebih besar: menghapus peran agama, terutama Islam, dari kehidupan bernegara. Para kyai, tokoh agama, adalah penghalang utama bagi mereka.

“PKI juga mendapat dukungan internasional,” jelas Mbah Yai. “Uni Soviet, China, mereka semua mendukung pemberontakan ini. Saat Madiun bergejolak tahun 1948, PKI membantai ribuan orang, termasuk kyai dan santri. Di antaranya Kyai Subchi dari Magetan.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline