Lihat ke Halaman Asli

Jika Kakes Terbatasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Jangan heran jika nanti sampai di Bandara Sentani kalian akan mendapati bercak-bercak merah seperti darah yang tidak bisa hilang. Itu bukan darah, tetapi ludah pinang."

Demikian sebagian penjelasan dari Pak Muhammad Rowi, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Keerom saat memberikan sosialisasi mengenai budaya masyarakat Papua di Jakarta, 2 Oktober 2013. Lalu, ketika saya sampai di Bandara Sentani pada Sabtu pagi, 12 Oktober 2013 saya tidak mendapati bercak-bercak merah ludah pinang di dalam bandara atau mungkin penglihatan saya yang kurang baik karena waktu itu masih pagi. Saya hampir tidak percaya dan berpikir bahwa masyarakat Papua tidak lagi mengunyah pinang sebagaimana yang diceritakan oleh Pak Rowi. Setelah mengambil semua barang-barang, saya melangkahkan kaki ke luar bandara, pikiran saya terbantahkan ketika sepasang bola mata ini melihat ada benda yang menggantung. Benda itu adalah sejumlah plastik hitam yang digantung, di bagian atas penggantung plastik itu tertulis "plastik untuk meludah". Pikiran saya langsung ke arah kebiasaan masyarakat Papua. Kebiasaan yang membudaya yaitu mengunyah buah pinang. Ya, mengunyah buah pinang sehingga membuat bibir merah merekah dan kita bisa melihat warna merah tersisa di bibir benar-benar budaya yang masih bertahan di Papua. Inilah yang membuat saya berani meyakini bahwa sampai saat ini, makan buah pinang seakan tidak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat Papua.

Buah Pinang: Antara Para Mama dan Tradisi Tiada Henti

Di balik kaca mobil yang membawa saya ke tempat peristirahatan (bukan terakhir, hehe), di sepanjang perjalanan saya menikmati keindahan alam Papua, bukitnya nan hijau, danau yang terlihat jernih airnya, jalannya yang berliku, di sisi kanan kirinya menonjolkan eksotisme pegunungan batu kapur yang menjulang tinggi. Eksotisme keindahan alam Papua memang tiada tara. Papua memang layak disebut tanah surga. Saya mulai berdecak kagum dan bergumam, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS:55). Tapi, di balik keindahan alam dan keeksotisannya ada satu hal yang lebih menarik perhatian saya, bukan bukit-bukit itu, bukan danau, bukan pula jalan yang berliku. Penarik perhatian saya adalah seorang perempuan. Seorang perempuan yang sudah terlihat dewasa (ibu-ibu) di Papua disebut Mama. Penarik perhatian saya adalah mama yang berjualan buah mirip belimbing wuluh dengan tekstur kulit yang lebih keras, kecil, dan warnanya hijau.  Buah itulah yang dinamakan buah pinang.

Mama yang berjualan buah pinang itulah yang membuat saya tertarik. Keberadaan  mama yang berjualan buah pinang tidak hanya satu atau dua orang. Hampir di setiap jalan yang saya lalui, saya menemukan penjual buah pinang dan di sepanjang perjalanan, saya melihat pembeli dan penikmat buah pinang pun berasal dari berbagai kalangan, laki-laki dan perempuan di segala usia, bahkan anak-anak kecil pun ikut mengonsumsi buah pinang.  Di banyak tempat, di Papua bagian Timur sebut saja Jayapura, mengunyah buah pinang disebut makan pinang atau menginang. Sementara itu, mengunyah buah pinang di Raja Ampat, Papua Barat biasa disebut Kakes.

Di suatu kesempatan ketika saya dibonceng sepupu saya untuk berkeliling kota Abepura, saya bertanya kepada sepupu saya yang memang sudah lama tinggal di Papua dan telah lama bersosialisasi dengan para mahasiswa, "Mas, saya lihat di sepanjang jalan banyak sekali penjual buah pinang, apakah mahasiswa di sini juga mengunyah pinang?" "Tentu saja, mereka masih mempertahankan budaya ini, menginang itu sudah tradisi di sini dan sama sekali tidak mengalami pergeseran. Mau mahasiswa, pegawai negeri, maupun pejabat masih kuat mempertahankan tradisi ini" jawab sepupu saya. "Oh begitu, saya pikir karena mahasiswa dekat sekali dengan modernisme mereka sudah enggan melakukannya. Ternyata asumsi saya tidak benar."  "Tidak, pinang itu tradisi, seperti halnya di Jawa, ibu-ibu atau nenek-nenek yang mengunyah sirih." Tetapi, mungkin di Jawa hanya sebagian kecil saja yang masih mengunyah sirih."

Kembali lagi ke mama penjual buah pinang. Kebanyakan yang saya temui, penjual buah pinang adalah kaum perempuan. Ini menunjukkan bahwa peranan kaum perempuan sebagai penjual buah pinang di Papua tidak saja menambah pendapatan keluarga, tetapi justru dapat mendominasi pendapatan keluarga. Seperti obrolan saya dengan Mama Hanny, seorang penjual buah pinang, beberapa waktu lalu ketika kami duduk bersebelahan di dalam taksi menuju Tami (cerita lengkapnya ada di haryatimadyawiyana.blogspot.com).

"Mama, ada acara apa ke Abe?" tanyaku. "Mama jual pinang" jawab Mama.

"Oh, pinang, di Kampung Kibay, tempat tinggal saya ada juga ada buah pinang Mama, sering diambil sama orang untuk di jual di kota."

"Oh, memang kadang kalau pinang di tempat sa (saya) habis sering ambil dari tempat lain". Kami mulai melakukan obrolan-obrolan seputar buah pinang.

"Oh, begitu, sekarang Mama masih bawa pinangkah? sa mau Mama, sa pernah mencobanya, seperti makan gula-gula, tapi sa belum berani pakai sirih agak pahit" celotehku. Mama pun tertawa menunjukkan senyum merahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline