Bumi mendongkakkan wajahnya menghadap langit. Terbesit kerinduan yang amat dalam ia rasakan. Di tempat ini ia hanya bisa menampakan guratan warna hijau dan biru untuk Langit. Bumi menunduk sedih. Apakah Langit tahu jika Bumi ingin selalu berjumpa dan bertatap muka dengannya?
"Langit, aku merindukanmu,"batin Bumi merajuk.
Langit. Siapapun mengenal Langit. Matahari, Bulan dan Bintang selalu setia berada di sisinya. Tapi hanya satu yang tak pernah lepas dari pandangan Langit. Dia adalah Bumi.
Setiap pagi hingga siang, ia selalu tersenyum untuk Bumi dengan bantuan Matahari. Dan si saat malam, dia meminta Bulan dan Bintang untuk menghibur Bumi dalam gelap. Tapi apakah itu cukup untuk menyampaikan harsatnya untuk menemui Bumi? Langit terdiam. Ingin rasanya saat ini ia turun ke Bumi. Memeluknya dan berbisik,
"Bumi, aku merindukanmu."
Jantung Bumi berdebak kencang, tak sabar menanti warna jingga itu datang untuk menyinari wajahnya di pagi hari. Yah, itulah salah satu pesona Langit yang membuatnya tak pernah berpaling untuk memandangnya.
Pesona? Apakah Bumi telah terjerat cinta sang Langit? Pipi Bumi memanas. Malu. Ia memalingkan muka, menyembunyikan guratan senyuman itu dari Langit.
"Andai Langit tahu akan perasaanku ini."
Langit mematung. Dia selalu meminta Matahari untuk menyinari Bumi tapi mengapa, ada warna yang berbeda di tubuhnya saat Bumi berputar dan membelakanginya. Langit bertanya-tanya apakah dia salah memperlakukan Bumi? Langit murka dengan dirinya sendiri. Apakan dia perlu meminta Topan untuk datang dan menghapus warna itu? Tidak! Dia tidak ingin Bumi semakin tersakiti karena ulahnya. Cukup warna coklat itu yang membekas di permukaan Bumi.
Langit selalu tertawa saat Bumi berputar seolah mengodanya dan mengajaknya untuk berdansa. Bumi memang selalu menari menunjukan keindahan bentuk tubuhnya kepadanya. Di antara jutaan planet di sisi Langit. Memang hanya Bumi yang bisa membuatnya jatuh hati.
"Andai Bumi tahu akan perasaanku ini."