Lihat ke Halaman Asli

Melawan Kampanye Anti Riba

Diperbarui: 22 Agustus 2016   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kampanye anti riba belakangan terjadi cukup massif, apalagi di medsos. Hal ini tentu saja cukup membuat resah, bahkan menyinggung, terutama bagi para pekerja di bank seperti saya. Tidak hanya itu, saya juga melihat banyak teman saya yang akhirnya menjadi ketakutan akibat ulasan-ulasan begituan, sampai akhirnya memilih resign, ada juga teman lainyang sampai mengover kredit rumahnya dan memilih kontrak rumah. Ini apa apaan?

Pelaku riba, seperti orang yang bekerja di bank kayak saya ini, dihukumi lebih berat dosanya dibandingkan para pezina. Bahkan, dosanya disamakan dengan berzina dengan Ibu Kandung. Saya berangkat pagi pulang malam, dengan beban target segunung, bekerja demi anak istri, ternyata dikatakan dosa saya bahkan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berangkat mencopet, merampok, melacur, memperkosa istri orang, atau bahkan lebih berat dosanya dibanding berbuat kejahatan-kejahatan yang lebih besar lainya. Apakah standar moralitas seperti ini masuk akal?

Kampanye anti riba adalah gerakan keagamaan yang tidak rasional, kasar, dan menyesatkan. Dan karena itu menurut saya tidak harus diikuti. Mengapa? Ini alasan-alasanya:

 1.Hukum tentang Riba memang sudah jelas di alqur’an. Bahwa riba itu haram. Tetapi pertanyaanya, apakah semua aturan hukum/ syariat yang bersumber dari qur’an dan hadits sudah pasti bisa dilaksanakan?  Jawab: Ada banyak ajaran dalam alquran-hadits, karena perkembangan zaman, akhirnya menjadi tidak lagi bisa diterapkan. Tidak relevan dengan dinamika zaman.

 Contoh:
 Berdasarkan hukum islam, orang mencuri harusnya dipotong tanganya, tapi apa hukum seperti ini masih bisa diterapkan?

 Orang berzina, harusnya dirajam, bahkan sampai mati bila statusnya sudah kawin. Apa ini bisa diterapkan?

 Atau, kalau islam yang kaffah katanya harus meneladani apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad. Tetapi pertanyaanya, apakah semua yang dilakukan nabi muhamad bisa ditiru?
 Nabi muhamad menikahi aisah yang belum genap 10 tahun. Jika orang sekarang menikahi anak usia segitu, bukankah justru disebut sebagai kejahatan?

 2.Kalau harus selalu menuruti logika halal haram, neraka surga, ada banyak. Dan tidak mungkin semua bisa diterapkan. Padahal, bukankah Islam dituntut untuk kaffah? Dan dikatakan fasik bila mengikuti sebagian-sebagian?.Tetapi bila faktanya ada banyak ajaran yang bertentangan dengan akal dan logika, apakah harus dipaksa untuk melaksanakan?

Jangankan riba, musik, melukis makhluk hidup, pakai celana menutup mata kaki, istri menolak diajak berhubungan, wanita keluar tanpa wali/muhrim, memilih pemimpin wanita, memilih pemimpin non muslim, hormat bendera merah putih, menghukumi perkara tidak dengan hokum Allah (mengikuti demokrasi), kecipratan air kencing, gitu aja juga sudah diancam neraka.

 3. Perintah dan larangan terkait riba tentu juga tidak dapat dipahami begitu saja berdasar ayat tekstualnya. Latar belakang turunya ayat, suasana historis masyarakat waktu itu, tentu juga harus dikaji.

 Misalnya yang perlu dikaji, apakah dijaman nabi sudah mengenal inflasi? Bagaimana tipikal riba yang berkembang di masa nabi waktu itu? Sehingga nabi mengharamkan. Apakah sama persis dengan yang berkembang di perbankan/koperasi sekarang?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline