Lihat ke Halaman Asli

Jangan Paranoid dengan Terduga Teroris!

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selasa malam, bertepatan momen pergantian tahun, Detasemen 88 anti teror menggerebek rumah kontrakan di jalan Abri Masuk Desa, dan membunuh enam penghuninya. “Mereka jaringan anggota teroris yang menembak dan membunuh polisi di beberapa tempat” Kata Kapolri jendral Sutarman. Ia merujuk pada serangkaian penembakan dan pembunuhan polisi di Jakarta dan Tangerang sepanjang tahun lalu.

Penghuni kontrakan yang pertama di tembak adalah Ruhidayat alias Dayat Alias Daeng, alias kacamata. Ia di hajar ketika naik sepeda motor membonceng Miwan, sopir angkutan kota yang satu kontrakan dengan dia. Seorang polisi membanting keduanya hingga terjatuh, LALU KEPALA DAYAT DI TEMBAK! (Tempo Edisi 6-12 Januari 2014)

Berdasarkan pemberitaan Tempo di atas, sebenarnya bisa saja Densus 88 (Polisi) menangkapterduga teroris di Ciputat tanpa harus menembak mati mereka semua. Dari kronologi penembakan terhadap Dayat,tanpa harus menembak kepalanya, logikanya polisi tentu bisa menangkapnya setelah membantingnya dari sepeda motor. Kemudian menangkap dan menyidangkannya ke pengadilan atas dugaan kesalahan yang dia lakukan. Tapi polisi ternyata tidak memilih melakukan cara itu. Polisilebih menyukai mengekspose aksi ala koboy ketimbang mengekspose tindakanpenegakkan hukum yang sesuaikaidah-kaidahhukum yang berlaku?.

Densus memang sering seperti itu. Paling tidak dalam aksinya akhir-akhir ini ketika menyerbui para terduga teroris. Segala macam tanda tanya public, maupun protes dari sebagian elemen bangsa nyatanya tidak dihiraukan.Seolah, tidak ada keharusan logis bagi densus 88 untuk menerima pertimbangan public , bahwapenindakan terhadap terduga teroris seyogyanya tetapdilakukan dengan cara yang manusiawi, menghormati HAM , dan sesuai denganperaturan hokum yang berlaku.

Pertanyaannya, apa benar tidak ada jalan lain untuk menangani terorisme selain dengan jalan kekerasan?.

Menurut saya, tentu masihada jalan lain yang lebih bermartabat yang bisa diperankan oleh Negara dalam menangani terorisme . Terlebih, bila mengingat bahwa NKRI memiliki idealisasi Pancasila, dimana dalam sila keempatnya menyatakan bahwa rakyat harusnya dipimpin oleh Negara dengan penuh hikmat kebijaksanaan!

Saya yakin pasti ada cara yang lebih bijaksana yang bisa diambil Negara dalam mengatasi berkembangnya aksi terorisme akhir-akhir ini.Di awali dari sebuah kesadaran bahwa mereka, para terduga teroris itu, adalah juga anak bangsa.

Dengan kesadaran seperti ini, maka upaya penyadaranbagi mereka (bahwa pikiran dan tindakannya salah) tentu jauh lebih baik dan masuk akal ketimbang membasmi mereka satu persatu seperti membasmi nyamuk. Dan terbukti, bahwa ketika Negara memilih membunuhi para terduga teroris satu persatu, aksi terorisme bukan justru selesai malahan beranak-pinak. Tindakan densus yang dianggap tidak adil dan keterlaluan terhadap para terduga teroris, terbukti memicu dendam para rekan-rekan mereka yang lain,kemudian menyasar polisi sebagai target aksi terrormereka.

Kejahatan terorisme berbeda dengan kejahatan biasa. Aksi para pelaku teroris bukan aksi pragmatis selayaknya penjahat biasa. Aksi para teroris adalah aksi ideologis. Mereka para teroris, menganggap tindakan terornya adalah sebagai bentuk perjuangan mewujudkan kondisi yang mereka idealkan.Tentu ada yang dianggap salah oleh mereka, dan itu sedang terjadi di Negara ini. Sehingga, mereka merasa terpanggil untuk menempuh sejumlah perjuangan (ala mereka).

Dan barangkali kita semua tahu, bahwa yang dianggap salah itu adalah adanya ketidak adilan di Negara ini, terutama bagi rakyat kecil.

Adalah fakta bahwa Negara ini maju berkembang mengingkari maksud dan tujuannya didirikan. Negara yang harusnya berhaluan demokrasi sosialis, makin kesini justru bergerak menuju ke Negara kapitalis-liberal. Peran Negara dalam memakmurkan rakyat, sedikit demi sedikit terus menghilang. Sehingga terciptalah kondisi dimana rakyat kecil, golongan ekonomi bawah,harus berjuang mati-matian untuk hidupdi bawah penindasan Negara yang telah ‘berselingkuh’ dengan para pemilik modal. Jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin semakin menganga lebar. Ditambah lagi dengan tabiat buruk para pemimpin negeriyang doyan ‘maling’ dan menipu, maka kesempatan rakyat bawah untuk mengembangkan diri menjadi semakin tertutup.

Semua keadaan buruk dan salah kaprah yang terus tejadi, membuat NKRI menjadi ruang hidup yang sangat tidak menyenangkan bagi rakyat kecil.

Klaim Negara berhasil menurunkan kemiskinan adalah klaim bohong semata, yang benar: Negara berhasil membuat kemiskinan menjadi turun-menurun!.Rakyat miskin semakin hari semakin tertindas, tergusur dan tiada memiliki ruang hidup yang layak. Akhirnya, kemiskinan pun melahirkangenerasi-generasiputus asa.

Generasi putus asaadalah generasi yang mendapati bahwa,kenyataan buruk yang mereka hadapi dalam dunia ini, sepertinya tak memiliki pengharapan akan bisa berubah. Dunia, sepertinya bukan tempatnya memperoleh kebahagiaan.

Sikap mental putus asa ini adalah pintu masuk doktrin-doktrin teroris, bahkan untuk yang paling ekstrem: Bom bunuh diri!. Ketika seseorang merasa bahwa hidupnya adalah rangkaian episode kesedihan, maka jelas rasa frustasi akan datang menghampiri. Ketika kondisi buruk yang dialami di masa lalu masih terus berlangsung di hari ini, dan tak ada tanda-tanda akan munculnya kabar baik, sepertinya sangat rasional apabila bagi yang mengalaminya memilih untuk tidak melanjutkan hidup.

Melalui doktrin-doktrin yang efektif, tindakan cuci otak yang sistematis, maka para generasi putus asa itu seolah mendapat sebuah semangat baru dalam memenuhi harapan-harapan mereka. Dan kali ini tentu bukan pemenuhan harapan dalam perspektif lama, tetapi dengan paradigma baru. Yaitu, memandang dunia seisinya yang nyata sebagai nihil. Sebagai kosong dan tak berarti. Dunia, bukan tempat bagi mereka. Indoktrinasi yang menggunakan agama, berhasil meyakinkan mereka bahwa akhirat yang penuh bidadari itu lebih nyata ketimbang dunia yang sedang mereka alami saat ini. Jadilah mereka menemukan kesucian atas tindakan membunuh atau bunuh diri yang akanmereka lakukan.

Sudahlah, jangan terlalu paranoid dalam memandang para terduga teroris. Pikiran kita jangan selalu didominasi sangkaan bahwa mereka itu sangat berbahaya. Beri ruang dipikiran kita, bahwa mereka perlu dikasihani, perlu disemangati , perlu didukung untuk meraih apa yang bisa benar-benar membahagiakan mereka.

Ada pepatah, mati satu tumbuh seribu.Dan ini relevan dengan persoalan penanganan teroris. Dr.Azhari, Nurdin M.Top dan banyak nama lain telah ditembak mati oleh densus 88, namun teroris masih banyak dan bahkan lebih banyak. Tindakan densus 88 yang dianggap tidak adil, akan memunculkan solidaritas bagi mereka yang bersimpati terhadap para korban densus. Terlebih, ketika bagi kelompok tertentu aksi densus terbaca sebagai tindakan sentiment terhadap salah satu ideology atau agama tertentu. Seperti yang saya kemukakan diatas, generasi putus asa kita masih banyak, dan banyak pula diantara mereka yang memproduksi identitas diri berdasarkan sudut pandang agama. Dan kabar buruknya: Sudut pandang agama yang mereka pakaiidentik dengan para teroris maupun terduga teroris yang pernah adasebelumnya, yang sudah ditembak mati densus!.

Maka, menangani terorisme yang paling tepat tentu bukan di dominasi cara-cara kekerasan. Mata rantai kekerasan harus diputus. Negara harus menyadari, bahwaanak bangsa sendiri bukan musuh asing, sehingga cara perlakuannya harus dibedakan. Walaupun otak mereka sudah berisi ide-ide impor (yang mungkin sangat mengganggu), tetapi mereka tetaplah anak bangsa. Mereka mungkin masih saudara jauh dengan kita. Masih temannya teman kita.

Pemberantasan teroris tidak akan efektif bila ditempuh dengan jalan kekerasan. Kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan berikutnya. Dan ini terbukti. Menangani teroris yang tepat adalah mendalami penyebab munculnya motif para pelaku, dan menindak lanjutinya dengan perbaikan-perbaikan.

Memberantas teroris dengan kekerasan dan tidak menghormati HAM tidak patut diapresiasi. Itu bukan keberhasilan, tetapi upaya menipu rakyat karena kenyataanyaNegara telah gagal berperan mewujudkan kemakmuran rakyat, serta gagal mengedukasi rakyatnya untuk tidak menjadi teroris. Negara telah gagal mencerdasakan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyatnya. INI FAKTANYA!.

SEJARAH PANJANG BUDAYA KEKERASAN

Menciptakan kondisi keamanan Negara dengan memproduksi tindakan-tindakan kerasan, adalah cara-cara konvensional yang seharusnya tidak lagi diambil oleh Negara ini di era empat belas tahun pasca digulirkannya reformasi.

Bangsa ini memiliki catatan panjang mengenai budaya kekerasan, terutama yang dilakukan oleh Negara terhadap rakyatnya sendiri. Sebut saja peristiwa 65, dimana ribuan anak-anak bangsa telah menjadi korban pembantaian atas kesalahan yang dituduhkan kepada mereka.(Dan jutaan sisanya mendapat diskriminasi akibat stigmatisasi yang disematkan kepada mereka, yaitu: Terlibat G30 S PKI).

Tumbangnya orde baru, membuka satu persatu borok-borok rezim Suharto, salah satu diantarnya adalah tindakannyamendiskriminasikorban peristiwa G30 S PKI.Tanggal 2 Desember 2013, Mahkamah agung memutuskan bahwa keputusan presiden Suharto Tahun 1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlibat G-30 S melanggar undang-undang.

Potret sejarah peristiwa 1965 menunjukkan pada kita bahwa Negara ini pernahmemiliki catatan ketidak adilan. Negara terbukti pernah tidak adil dalam menentukan siapa yang dianggap bersalah, dan tidak adil dalam mengadili mereka yang dianggap bersalah itu.

Mereka (yang dianggap bersalah) bukan diadili berdasar pertimbangan hukum yang berlaku, tetapi diadili dengan pertimbangan politik demi tujuan-tujuan kekuasaan yang mengabaikan nilai etika dan moralitas.

Sayangnya bangsa ini adalah bangsa yang bebal, sehingga sulit mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwamasa lalunya. Semakin tua umur Negara bangsa bernama Indonesia ini, bukannya justru menjadi semakin baik, malahan masih sama kacaunya dengan masa-masa sebelumnya.

Dalam konteks pemberantasanterorisme, terlihat bahwaKebijakan rezim reformasi di bawah SBY dalam menangani aksi terorisme, masih serupadengan cara rezim orde baru menumpas ideology komunisme. Tidak ada bukti adanya pembelajaran. Hal buruk yang dilakukan orde baru bukannya dihindari, justru di tiru. Bila orde baru memberangus paham komunis dengan membantai para penyebarnya, agaknya apa yang dilakukan oleh densus 88 memerangi terorisme adalah duplikasinya

Akhirnya, Saya hanya bisa berharap agar para pribadi yang karena pekerjaanya harus mewakili Negara, agar tetap menggunakan hati nurani ketika menjalankan tugas. Bukan saja karena alas an moral dan pertimbangan spiritual, tetapi juga berkaitan dengan keberlakuan hukum alam. Tidak ada yang abadi di dunia. Setiap masa ada pemimpinnya, namun setiap pemimpin juga ada masanya. Belajar dari sejarah tumbangnya Suharto, maka ambilah pengalaman bahwa ‘kebusukan yang sudah dikemas sedemikian rupa, ketika pada masanya, tentuakan ketahuan juga aslinya!.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline