Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Harun Sukarno

NIM 55521120014, Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

K6_Kritik Sisi Gelap Produk Hukum Patuhh Pajak Dekonstruksi Derrida

Diperbarui: 11 April 2023   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi 

Kepatuhan pajak saat ini tengah menjadi sorotan publik. Mengapa demikian? Karena kepatuhan pajak menimbulkan dimensi permasalahan yang beragam. Berbagai upaya dilakukan oleh akademisi dan otoritas pajak untuk mencari jalan tengah dengan cara diskursus, tapi faktanya belum ada definisi yang ideal tentang kepatuhan pajak yang digaungkan selama ini. Alih-alih menemukan problem solving, ternyata paradigma patuh pajak itu sendiri telah bertransformasi dari masa ke masa. Adagium yang semula "mengapa wajib pajak tidak membayar pajak?", namun sekarang ini justru maknanya semakin mengalami kemunduran menjadi "mengapa wajib pajak diiharuskan untuk membayar pajak?". Secara kontekstual, dapat dimaknai secara implisit bahwa dulu makna harfiah merujuk pada "mengapa wajib pajak tidak patuh pajak?", saat ini menjadi "mengapa wajib pajak diharuskan patuh pajak?".

Bertolak pada pembalikan dan penundaan dalam transformasi makna kepatuhan pajak ini, Derrida secara definitif menolak makna harfiah suatu kepatuhan pajak. Bahkan kritik terhadap teksnya bersifat melawan tatanan kodrat untuk meraih kebebasan. Dalam perspektif ekonomi rasional misalnya, aspek matematis perhitungan pajak hanya pemenuhan ekonomi yang egois. Mengapa demikian? Kepatuhan pajak akan memunculkan biaya atau beban baru bagi wajib pajak dan melakukan upaya untuk menghindari pajak adalah keuntungan bagi wajib pajak. Dalam perspektif Derrida, konsep ini masuk dalam ranah penundaan atau pembedaan yang menggambarkan arah dekonstruksi. Kepatuhan pajak bukan hanya sekedar untung dan rugi saja, melainkan penundaan hubungan antara penanda dan petanda yang membalikkan hirarki logika (oposisi) yang bersifat biner. Untung rugi akan muncul apabila ada teks dan kontekstual yang mengatur didalamnya dan dapat berubah karena adanya perbedaan ruang dan waktu.

Produk hukum kepatuhan pajak yang disahkan oleh pemerintah melalui Kementrian Keuangan dan pemangku kepentingan lainnya telah bertransformasi dari waktu ke waktu. Pembalikan hirarki logika Derrida akan berproses dalam oposisi "mengapa harus direvisi jika bisa menggunakan produk hukum yang lama?". Jawaban pemikiran Derrida akan membentuk premis yang mengatakan bahwa ruang dan waktu yang menyebabkan produk hukum kepatuhan pajak sudah tidak relevan untuk diimplementasikan lagi. Dengan kata lain, produk hukum kepatuhan pajak lama sudah tidak dapat mewadahi berbagai kepentingan wajib pajak dan otoritas pajak dalam melakukan pemungutan pajak. Adanya perbedaan dalam konteks ruang dan waktu berlakunya produk hukum kepatuhan pajak ini telah menyempurnakan makna teks yang tunggal. Sebab perbedaan akan menolak dan melawan makna yang sifatnya absolut. Pemerintah saat ini memiliki produk hukum kepatuhan pajak yang terbaru yaitu UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) UU No.7 Tahun 2021 yang disahkan pada tanggal 29 Oktober 2021. UU HPP tersebut telah mengubah perundangan-undangan perpajakan yang sebelumnya yaitu:

  • UU No. 2 Tahun 2020 tentang Perpu No.1 Tahun 2020 mengenai kebijakan keuangan dalam menghadapi COVID-19 dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.
  • PERPU No. 1 Tahun 2020 mengenai kebijakan keuangan dalam menghadapi ancaman nasional keuangan.
  • UU No. 42 Tahun 2009 mengenai Perubahan Ketiga terhadap UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPnBM
  • UU No. 16 Tahun 2009 mengenai Perpu No.5 tahun 2008 atas Perubahan Keempat UU No.6 Tahun 1983 KUP dalam bentuk UU.
  • UU No. 36 Tahun 2008 mengenai Perubahan Keempat terhadap UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh
  • UU No. 39 Tahun 2007 mengenai Perubahan terhadap UU No.11 Tahun 1995 membahas masalah Cukai
  • UU No. 11 Tahun 1995 mengenai Cukai
  • UU No. 8 Tahun 1983 mengenai PPnBM
  • UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh
  • UU No. 6 Tahun 1983 mengenai KUP.

Sejak tahun 1983 hingga saat ini, produk hukum kepatuhan perpajakan bertransformasi untuk kepentingan nasional Bangsa Indonesia dalam menghimpun pajak rakyat. Begitu pula dengan UU HPP yang baru saja disahkan pada tahun 2021 lalu. Apabila waktu terus berjalan hingga 10 bahkan 30 tahun mendatang, produk hukum kepatuhan pajak UU HPP yang bersifat baru ini akan menjadi produk lama yang akan membuat perbedaan (difference) berdasarkan perspektif Derrida. Jika demikian, tidak ada yang absolut dalam memaknai segala aspek perpajakan di Indonesia? Apabila pembalikan hirarki logika yang digunakan adalah penundaan akan membentuk kesempurnaan.

Jika demikian, mengapa diciptakan produk hukum kepatuhan pajak jika wajib pajak bisa tidak mematuhi pajak?

Sekali lagi dekonstruksi Derrida tengah menyoroti teks yang bersifat literal tetapi sudah dimanifestasikan dalam metafora dan premis-premis logika wajib pajak. Berangkat dari pertanyaan diatas, Dekonstruksi Derrida bukan untuk melawan perundangan yang disahkan negara. Pertanyaan dalam dekonstruksi tersebut justru memberikan pengajaran dan pembelajaran pada wajib pajak untuk merenungkan kembali dasar, praktek, konsep dan nilai yang telah diejawantahkan oleh pikiran. Mungkin sebelumnya wajib pajak tidak memiliki pemikiran untuk patuh pajak, namun setelah ada kontekstual dan slogan yang dibuat pemerintah menjadi patuh pajak. Misalnya slogan "warga negara yang bijak, taat pajak". Setelah adanya beberapa permasalahan yang muncul pada badan dan otoritas pajak, perlahan pemaknaan "bijak dan taat pajak" mulai luntur dan bergeser dalam pemaknaan yang lebih rendah.

Inilah fase pembalikan hirarki logika Derrida yang digambarkan sebagai berikut:

Sumber Gambar : Dokumen Pribadi 

Dengan perspektiff behavioral cooperation, pernyataan "taat pajak dan bijak" justru meningkatkan kepatuhan pajak dengan adanya peningkatan terhadap layanan pajak dan reformasi pajak yang terjadi dari waktu ke waktu. Namun, tak ayal masalah kepatuhan pajak ini masih terus menjadi diskursus yang paling menarik untuk dibahas dan dicari jalan tengah untuk mengatasi masalahnya.


Resiko 

Membayar pajak dalam persepsi wajib  pajak justru memunculkan dua opsi yang saling bertentangan. Apabila membayar pajak, maka saya akan menjadi warga negara yang baik dan jujur. Dalil negasinya adalah jika tidak membayar pajak, maka akan menjadi warga negara yang tidak baik karena melakukan penghindaran pajak. Resiko dari dua opsi yang muncul ini sangat berbeda, opsi pertama bersifat rendah dan opsi kedua bersifat resiko tinggi karena besar kemungkinan menimbulkan masalah berupa sanksi dan pemeriksaan yang tidak pernah diharapkan oleh wajib pajak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline