Lihat ke Halaman Asli

Inspaning Verbitenis: Antara Dokter dan Pasien

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasien dan Dokter (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Pasien dan Dokter (Shutterstock)"][/caption]

Hubungan dokter dan pasien merupakan hubungan yang tidak berdasarkan hasil. Tujuan utamanya adalah proses. –Inspaning verbitenis

Tulisan ini terinspirasi dari segala jenis paparan yang berkaitan tentang hukum dan kedokteran.

---

Masihkah terngiang soal Kasus Hukum dr. Ayu di Sulawesi sana?

Suatu pelajaran hukum yang luar biasa bagi para dokter klinis untuk lebih waspada dengan segala tindakan yang dilakukan, sekalipun itu untuk penyelamatan pasien.

Dokter adalah profesi yang terkungkung oleh undang-undang yang berlapis-lapis, UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU nomor tahun 2009 tentang Kesehatan, PP nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, Kepmenkes nomor 631 tahun 2005 tentang Peraturan Internal Staff Medis, Permenkes nomor 161 tahun 2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan dan masih banyak banyak banyak lagi.

Sebegitu berbahayanya profesi dokter, sehingga perlu dipagari oleh banyak regulasi. Namun, memang. Suatu penelitian pernah menyebutkan, bahwa periksa ke dokter jauh lebih berbahaya daripada naik pesawat terbang. Dalam berbagai artikel tentang medical error dan aviation safety, error yang terjadi karena medical intervention lebih besar dari kecelakaan pesawat terbang.

Perlu diketahui, profesi dokter dulunya adalah profesi yang luhur, bahkan tidak sedikit yang menyamakannya sebagai dewa. Semakin ke belakang, disadari atau tidak, julukan ini membuat para dokter di atas angin. Tarif yang ditawarkan semena-mena, dan jika terjadi kesalahan anggapannya adalah biasa. Kesalahan yang dilakukan oleh dokter memang tidak bisa disebut sekedar, sedikit saja terjadi kealpaan akan memberikan bekas bagi pasien bahkan terburuknya adalah kematian.

Dulu, pasien adalah orang yang paling pasrah sejagat raya, apapun yang dilakukan dokter, itulah yang akan menentukan kehidupannya.

Namun, dunia memang tidak pernah tidur, sekarang semuanya berubah 180 derajat.

Isu medical error memang baru akhir akhir ini mencuat menjadi konsumsi publik. Masyarakat menjadi sadar dan lebih berani, meski kadang agak kebablasan. Kehidupan praktik dokter pun semakin mencekam, dihantui berbagai tuntutan yang seolah dengan cekatan mengintai kesalahan yang dilakukan.

[caption id="attachment_373382" align="aligncenter" width="600" caption="http://www.nytimes.com"]

14154574581096900388

[/caption]

Di sini, letak pergeseran hubungan antara dokter dan pasien. Hubungan yang mulai berjarak dan membawa benteng masing-masing.

Kondisi yang terjadi saat ini bukanlah hal yang buruk, namun bukan pula hal yang menyenangkan. Jika dipandang dari berbagai sisi. Dari sisi masyarakat, kadang ada anggapan “keren” jika mampu menuntut seorang dokter dan menyebarkannya ke media sosial. Bahkan tidak sedikit, pasiennya damai-damai saja, namun kerabatnya yang “ngebet” ingin menuntut. Ada pula yang menyebut ini sebagai titik nadir dokter, karena kehilangan kepercayaan akibat semakin masifnya gerusan moral dalam profesi ini.

Dari sisi dokter, terjadi ketakutan dalam bekerja, dituntut selalu oke setiap saat, berlaku dewa berhati baja, padahal, dokter juga manusia.

Sebenarnya, hanya satu kunci untuk merubuhkan tembok tinggi untuk keduanya, komunikasi. Komunikasi merupakan kunci keseimbangan. Titik keseimbangan antara dokter dan pasien, bukan lagi dokter sebagai superior dan pasien inferior. Tidak ada lagi gap informasi antara dokter dan pasien. Setiap tindakan dokter harus dijelaskan sepaham-pahamnya kepada pasien. Otoritas pengambilan keputusan tindakan semuanya ada pada pasien, dokter hanya memberikan opsi.

Dengan rubuhnya benteng antara keduanya, tujuan transaksi terapeutik akan tercapai, dokter dan pasien sama-sama akan merasakan keamanan, kenyamanan dan kepuasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline