Lihat ke Halaman Asli

Kutukan di Balik Pena: Tragika Seorang Penyair

Diperbarui: 13 Desember 2024   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam era modern ini, pengaruh sosial media memberi tekanan hidup yang semakin kompleks pada kita. Realitas yang ditampilkan di layar sering kali menjadi kerancuan, membentuk ekspektasi yang tidak realistis dan membawa kita terjebak dalam pusaran keresahan serta dilema. Kondisi ini membuat banyak orang merasa terbebani secara mental, kehilangan arah, dan sulit menemukan ketenangan di tengah kebisingan dunia digital.

Dalam menghadapi tekanan tersebut, menulis dapat menjadi salah satu cara paling efektif untuk meredakan kekusutan pikiran. Baik itu melalui puisi, cerita pendek, atau bahkan jurnal pribadi, menulis menawarkan ruang untuk meluapkan emosi dan mengurai benang kusut dalam pikiran. Sebuah penelitian pada 2018 yang diterbitkan di jurnal JMIR Mental Health menunjukkan manfaat signifikan dari menulis. Dalam penelitian tersebut, para peneliti meminta 70 orang dewasa dengan berbagai kondisi kecemasan untuk menulis selama 15 menit, tiga hari seminggu, selama 12 minggu. Hasilnya, para peserta merasakan peningkatan kesejahteraan emosional dan penurunan gejala depresi hanya dalam waktu satu bulan. Lebih jauh lagi, kesejahteraan mental mereka terus meningkat selama proses tersebut.

Namun, di tengah manfaat besar ini, menulis dan menjadi penyair sering kali dianggap sebelah mata di masyarakat kita. Fenomena ini terlihat jelas melalui istilah seperti “anak senja dan indie” yang kerap digunakan untuk mengejek para penulis muda. Label semacam ini tidak hanya merendahkan, tetapi juga berpotensi mematahkan semangat para penyair sebelum mereka sempat berkembang. Ketakutan akan stigma yang disebut sebagai bagian dari cringe culture telah merusak iklim kreatif, terutama bagi generasi muda yang tengah belajar menemukan suara mereka dalam dunia sastra.

Kenyataan ini, bagi saya, sangat ironis. Kurangnya dukungan dan apresiasi terhadap karya sastra mencerminkan rendahnya kesadaran akan pentingnya budaya literasi di negeri ini. Dalam konteks ini, bukan hanya soal selera dalam menikmati karya yang menjadi permasalahan, tetapi juga sikap masyarakat yang sering kali lebih cepat mencemooh daripada menghargai. Tentu, selera bersifat subjektif, tetapi ketidaksukaan terhadap sebuah karya seharusnya tidak menjadi alasan untuk menciptakan stigma atau merendahkan orang-orang yang sedang belajar menulis.

Sangat penting untuk membangun sikap saling menghargai di antara kita. Apresiasi terhadap karya, terlepas dari gaya atau preferensi pribadi, adalah langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan sastra. Sejatinya, setiap orang memiliki cara unik dalam mengekspresikan diri, dan keberagaman ini adalah hal yang harus dirayakan, bukan dicemooh.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan dari Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar kelahiran Blora, Jawa Tengah: “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Kutipan ini mengingatkan kita akan pentingnya menulis, tidak hanya sebagai bentuk ekspresi pribadi, tetapi juga sebagai kontribusi yang dapat melampaui batas waktu.

Jadi, menjadi penyair bukanlah hal yang menjijikkan atau memalukan. Sebaliknya, ia adalah panggilan jiwa yang sederhana namun penuh makna. Untuk menjadi penyair, tidak diperlukan syarat yang rumit. Cukup kopi, senja, dan keberanian untuk menulis. Hehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline