Lihat ke Halaman Asli

Harta yang bernama “Ibu”

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berikut adalah kiriman cerita dari seorang teman saya yang di post di akun fesbuk saya. Isinya mengenai kebohongan seorang ibu untuk anaknya. Sengaja saya share disini untuk membuka mata dan hati kita semua akan arti seorang ibu. Sudah baca berkali-kali tapi feel-nya masih trasa terus. Berikut kisahnya:

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai
seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin.
Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan,
ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan
nasi ke mangkukku, ibu berkata :
"Makanlah nak, aku tidak lapar"
---------- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering
meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam
dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa
memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan.
Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan
mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu,
ibu duduk disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang
masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan
yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh,
lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku.
Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata :
"Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan"
---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan
kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak
korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan
sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim
dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih
bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan
pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata :
"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja."
Ibu tersenyum dan berkata :
"Cepatlah tidur nak, aku tidak capek"
---------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat
menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang,
terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih
menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam.
Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai.
Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah
disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu
kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh
lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera
memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum.
Ibu berkata :
"Minumlah nak, aku tidak haus!"
---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus
merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada
pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan
hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah
dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi
keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati
yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah
besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah
melihat kehidupan kita yang begitu sengsara,
seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu
yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka,
ibu berkata :
"Saya tidak butuh cinta"
----------KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari
sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun.
Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi
untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering
mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu,
tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut.
Malahan mengirim balik uang tersebut.
Ibu berkata :
"Saya punya duit"
----------KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan
kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas
ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan.
Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang
lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati
hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak
mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku
"Aku tidak terbiasa"
----------KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker
lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di
seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk
menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring
lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang
keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan.
Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku
karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa
penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat
lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil
berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku
dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya
berkata :
"Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan"
----------KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan,
ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti
merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan :
" Terima kasih ibu ! "
Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak
menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak
menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita?
Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu
mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita
yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada
di rumah.
Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli
dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar
pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum,
cemas apakah dia bahagia bila di samping kita.
Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari
ortu kita?
Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah
ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar?
Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..
Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi
ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata
"MENYESAL" di kemudian hari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline