Lihat ke Halaman Asli

Hartono

Seorang yang suka sekali menulis

Ada Apa dengan Program Profesi Advokat

Diperbarui: 13 Mei 2019   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari pinterest.com

Pinterest/Ashlee Rudnick

Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengakui Permenristekdikti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA) mengandung kelemahan yang menimbulkan polemik di kalangan advokat terkait pendidikan advokat. Karena itu, Kemenristekdikti berencana bakal merevisi Permenristekdikti yang terbit pada 22 Januari 2019. Demikian sekilas artikel yang ditulis oleh Rofiq Hidayat pada situs HukumOnline.com pada tanggal 5 April 2019 bertajuk "Kemenristekdikti Bakal Revisi Aturan Program Profesi Advokat."

Peraturan Menteri mengenai Program Profesi Advokat tersebut dirasakan oleh beberapa kalangan telah menghilangkan peran advokat dalam melaksanakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan pengangkatan advokat sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Advokat. 

Dimana dalam Permenristekdikti tersebut menjelaskan bahwa perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program profesi advokat dengan syarat yakni perguruan tinggi memiliki program studi ilmu hukum program sarjana, akreditasi minimal B dan bekerjasama dengan organisasi advokat.

Tentunya hal ini memberikan dampak positif dan juga dampak negatif bagi mereka yang bercita-cita ingin mengambil profesi yang terhormat (officium nobile) yang sering kita kenal dengan nama Advokat. 

Dengan berubahnya Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dari non formal menjadi formal yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi advokat maka pendidikan yang ditempuh paling cepat selama dua semester atau satu tahun diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kemampuan bagi Advokat dalam memberikan pelayanan jasa di bidang hukum.

Namun dampak dari diberlakukannya Permenristekdikti tersebut, dimana masa studi program profesi advokat ditempuh paling lama 3 (tiga) tahun akademik setelah menyelesaikan program sarjana dapat menjadi permasalahan tersendiri bagi mereka yang telah menyelesaikan program sarjana ilmu hukum melewati masa 3 (tiga) tahun tersebut. 

Aturan ini seakan menutup kemungkinan bagi mereka yang ingin menjadi seorang advokat seperti pensiunan PNS, kepolisian, kejaksaan, dan lainnya. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang mana tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Selain itu dampak yang dapat terjadi adalah berkurangnya ketersediaan advokat yang memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, hal ini dikhawatirkan akan semakin sulit diaksesnya keadilan bagi pencari keadilan atau masyarakat tidak mampu dan bagi advokat yang mendedikasikan jasanya untuk melayani masyarakat tidak mampu tersebut.

Hal ini juga berdampak pada Undang-Undang yang mengatur mengenai Bantuan Hukum dimana dalam hal ini pemerintah menyediakan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin di Indonesia sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. 

Yang dalam hal ini berarti negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak terhadap bantuan hukum khususnya bagi masyarakat tidak mampu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline