Lihat ke Halaman Asli

Simbok, Sedekat Susur di Bibirmu

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Simbok, Sedekat Susur di Bibirmu

Coretan: Hartari

Apa yang terbayang saat mendengar kata Simbok. Sekelebat bayangan wanita, sepuh, berkebaya, duduk dengan anggun penuh kearifan. Hmm…ada benarnya, tapi tak hanya itu. Simbok adalah wanita hebat. Tak punya pertalian darah sama sekali, tapi punya pertalian emosi yang luar biasa besarnya.

Pernah mendengar kalimat, “Mbok, aku kangen Simbok.” Kalimat ini pernah terdengar pada sebuah tayangan televisi. Hari gini masih nyebut ‘Simbok’? Hebat benar. Selidik punya selidik ternyata yang dibicarakan adalah Simbok. Wanita sepuh, berkebaya, warna bibir merah dubang (dubang : idu abang) kolaborasi injet (kapur sirih) dan gambir. Aroma tubuh Simbok juga sangat khas, atau mungkin ini feromon? tak begitu wangi, malah boleh dikatakan kecut. Entahlah. Sulit mendefinisikan bau keringat Simbok. Tapi apapun, yang jelas Simbok hebat, sangat ngangenin.

Balik lagi pada ‘Aku kangen Simbok’. Ealah, ternyata kalimat itu meluncur dari sosok pemuda metropolitan yang rindu akan kehadiran ibu baik secara fisik maupun emosi. Tapi apa boleh buat, kehidupan urban telah menggeser wanita sebagai pekerja dan ‘kadang’ melupakan fungsinya sebagai ibu, pabrik kasih sayang. Maka kehadiran Simbok sebagai pengganti ibu menjadi sosok paling dirindukan.

Simbok adalah sosok yang membantu meringankan pekerjaan rumah tangga, bekerja dan mengabdi selama sekian tahun pada sebuah keluarga. Menjadi saksi atas lahirnya seorang jabang bayi, melihat proses tumbuh kembang lengkap dengan sehat dan sakitnya, senyum dan tangis sang bocah, memasuki usia sekolah, remaja bahkan dewasa, Simbok tetap setia.

Setia ? Iya. Bahkan Simbok lebih memahami si anak tersebut daripada ibu kandung mereka sendiri. Memasak makanan kesukaan, menjadi tempat curhat, mengompres saat tubuh panas, menemani saat sendiri sampai tempat mengunduh didikan budi pekerti. Kadang miris juga ketika mendengar seorang anak mampu menghapal doa makan, sampai melantunkan Al Ikhlas setelah diajari Simbok yang tulis baca pun tak pernah menyetuhnya.

Simbok itu…. kadang tempat menyandarkan kepala saat ingin bermanja, menceritakan semua keluh. Lalu tangan keriputnya membelai lembut rambut, menina bobokan dengan tembang penuh makna, sampai tak terasa mata terlelap di pangkuannya.

Ada kalanya Simbok juga sebagai obyek kejahilan. Diajari bahasa Inggris, bahasa gaul. Tapi, Simbok enggak mau kalah dengan membalas nyanyiin Als de orchideien bloeien, kom den toch terug bij mij. den scheed sijne de schoonste tuinen to jij schad steeds aan mij zijn.Diajari senam ringan, beliau malah mahir Taiso. hmm…

Dan saya pun tak kaget lagi ketika mendengar: ‘aku rindu Simbok’ atau ‘Mbok, aku kangen’

Ah, Simbok. Sedekat susur di sudut bibirnya.

* * *

Semarang, 20 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline