Lihat ke Halaman Asli

Posisi Baru Sri Mulyani di World Bank, Skenario Menggagalkan Proses Hukum Kasus Bank Century

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terhitung 1 Juni 2010, Sri Mulyani, Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu II, sudah menempati pos baru di World Bank sebagai Managing Director.

Banyak pihak, menilai tawaran dari World Bank, dan sudah diterima  Sri Mulyani juga disetujui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan kehormatan bagi Indonesia dan juga bagi Sri Mulyani.

Lain halnya, jika ditinjau dan diamati dari sudut pandang penuntasan kasus Bank Century. Di balik pengunduran dirinya sebagai Menteri Keuangan, berdasarkan alasan yang tidak relevan dengan kasus Bank Century, mengisyaratkan adanya skenario untuk menggagalkan penuntasan kasus Bank Century, dengan memanfaatkan momentum penawaran posisi baru di World Bank, atau bahkan ada konspirasi tingkat tinggi  untuk menempatkan Sri Mulyani, di luar negeri,  yang menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pihak-pihak yang terlibat kasus Bank Century, yang saat ini duduk ditampuk kekuasaan politik dan perekonomian  di Indonesia, dan pihak-pihak  luar negeri (Neoliberalisme, Neokolonialisme), yang sangat berkepentingan menjadikan Indonesia, sebagai ladang eksploitasi/penjarahan  sumber daya alam, untuk kepentingan Negara-negara penyandang dana lembaga keuangan internasional seperti World Bank,  IMF, dan sejenisnya.

Suatu keganjilan, yang sangat nyata, jelas-jelas Sri Mulyani dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), bersama Boediono, sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI),  mempunyai peran kunci dalam penggelontoran bail out/dana talangan Bank Century yang berindikasi telah terjadi tindak pidana korupsi. Dan sekarang  ini sedang  diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), justru disetujui oleh SBY untuk menerima posisi baru di World Bank (Managing Director).

Menurut akal sehat, dan jiwa kenegarawanan, juga komitmen terhadap pemberantasan korupsi, seharusnya SBY tidak mengijinkan/ menyetujui Sri Mulyani, untuk menerima posisi di World Bank yang berkedudukan di Washingthon DC (USA), karena masih harus mempertanggungjawabkan kebijakannya sebagai pembantu Presiden,  yang berujung pada terjadinya Kasus Bank Century, dan pada hakekatnya adalah kebijakan Presiden SBY.

Nyata sekali, hal itu, merupakan skenario yang direkayasa untuk menghalangi pemeriksaan KPK terhadap Sri Mulyani, dalam rangka penuntasan proses hukum kasus Bank Century. Sebenarnya skenario itu telah dijalankan, dengan penolakan Sri Mulyani untuk diperiksa di kantor KPK. Akhirnya KPK harus mendatangi Sri Mulyani, di kantor Kementerian Keuangan. Kemudian pada pemeriksaan selanjutnya, dihentikan sebelum waktunya, padahal KPK belum tuntas memeriksa Sri Mulyani, dengan alasan rapat kabinet di Istana Presiden.

Dengan posisi baru  di luar negeri (USA), jelas sangat mempersulit proses pemeriksaan oleh KPK, baik terkendala waktu, tempat, maupun alasan kesibukan sebagai Managing Director World Bank. Dan masih banyak kendala lagi, yang pasti sudah dirancang untuk dimunculkan, mengingat penempatan baru di World Bank penuh dengan nuansa konspirasi tingkat tinggi, antar negara, bahkan kekuatan lobi kelompok yang saat ini sudah menguasai dunia, yang notabene Indonesia sendiri, sudah masuk perangkap, akibat hilangnya jiwa nasionalisme dari segelintir penguasa, pengusaha, petinggi di negeri ini, yang telah tega menggadaikan dan menjual bangsa sendiri atas nama jargon demokratisasi, globalisasi ekonomi (perdagangan bebas), dan isu-isu global lainnya, yang jelas-jelas merugikan dan membuat rakyat Indonesia, semakin sengsara hidup di negeri sendiri.

Apapun alasannya, Masyarakat, Penggiat anti korupsi dan KPK, sangat kecewa atas keputusan   SBY menyetujui dan membiarkan Sri Mulyani melenggang ke luar dari Indonesia . Karena hal itu, akan membawa konsekuensi terhambatnya penuntasan proses hukum kasus Bank Century. Dengan kata lain, persetujuan itu, sangat bertentangan/inkonsisten dengan komitmen yang dibuat SBY sendiri, untuk tampil di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Rakyat Indonesia membutuhkan bukti dan tindakan nyata, bukan pernyataan-pernyataan patriotis tanpa realisasi. Negeri ini membutuhkan pemimpin yang amanah, bukan pemimpin yang pragmatis dan opportunis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline