Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Tonsawang Terancam Punah

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Kajian perkembangan bahasa secara global, nasional dan lokal)

Endangered Languages “It is estimated that, if nothing is done, half of 6000 plus languages spoken today will disappear by the end of this century. UNESCO.

Ada dua pilihan bagi masa depan bahasa Tonsawang, membiarkan bahasa Tonsawang punah atau mengupayakan pelestariannya. Pilihan ada di tangan kita!

Oleh: Harsen Roy Tampomuri, SIP

Yogyakarta – Terlintas sebuah kalimat yang memiriskan hati “… Bahasa Tonsawang terancam punah”. Kalimat ini terus terlintas dan menjadi perhatianku setelah membaca sebuah artikel UNESCO yang berjudul Endangered Languages “It is estimated that, if nothing is done, half of 6000 plus languages spoken today will disappear by the end of this century" website UNESCO. Secara sederhana terinformasi bahwa sekitar 6000 bahasa dituturkan di seluruh dunia dan setengah dari bahasa-bahasa tersebut akan punah diakhir abad ini. Banyak bahasa yang dikategorikan dalam posisi tidak aman dan menurut saya salah-satunya adalah bahasa Tonsawang. Bahasa Tonsawang (Bahasa sub-etnis Tonsawang) dituturkan di Tombatu, Sulawesi Utara dengan jumlah penutur 20.000 (Wurm and Hattori : 1981)  dan merupakan rumpun bahasa Austronesia dengan sistem penulisan latin (Wikipedia). Sub-etnis Tonsawang merupakan salah satu sub-etnis dari etnis Minahasa.


I. Penyebab Kepunahan Bahasa Daerah

(Sarah Reinke : 2014) Kepunahan bahasa, terutama bahasa minoritas, di dunia diakibatkan dengan semakin meningkatnya mobilitas atau pengaruh media. Selain itu, dibeberapa negara otoriter, seperti Rusia dan Cina, bahasa-bahasa minoritas ditekan dengan maksud untuk mencabut akar budaya etnis minoritas di negara-negara tersebut. Di Amerika Selatan, proyek-proyek pembangunan raksasa mengubur habitat dan bahasa adat di wilayah.

Griems (2000) mengemukakan enam gejala yang menandai kepunahan bahasa pada masa depan yaitu: (1) penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, (2) semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa ibu, (5) penutur generasi terakhir sudah tidak cakap lagi menggunakan bahasa ibu, dan (6) contoh-contoh mengenai semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa, keterancaman bahasa kreol (bahasa ibu bagi sekelompok orang yang berasal dari latar belakang berbeda-beda) dan bahasa sendiri.

II. Pengaruh Sentralistik Bahasa

Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi memang dibutuhkan dalam mempersatukan bangsa. Presiden di masa orde baru melalui pidato HUT RI sejak tahun 1970 dan tahun-tahun selanjutnya secara tegas dan gencar mengeksklusikan Bahasa Indonesia. Di sisi lain bahasa daerah tergerus oleh dominasi Bahasa Indonesia karena pemerintah tidak lagi memperhatikannya. Hal ini merupakan bentuk jargonik nasionalisme dalam balutan entatisme dan sentralisme. Indonesia memiliki sekitar 700 bahasa daerah yang masih aktif dituturkan. Namun menurut UNESCO,sekitar 140 bahasa daerah di Indonesia dalam bahaya dan terancam punah. Melihat penggunaan bahasa daerah di Indonesia saat ini sangat dimungkinkan angka ini akan bertambah jika tidak diantisipasi.

III. Kepunahan dan Kebangkitan Bahasa Tonsawang

A. Kepunahan Bahasa Tonsawang

Dahulu penggunaan bahasa Tonsawang menjadi cerminan budaya dan identitas masyarakat Suku Tonsawang yang merupakan penduduk daerah Tombatu (Tombatu Raya). Penduduk Tombatu bermukim di sebelah Selatan Gunung Soputan. Bahasa Tonsawang banyak dipengaruhi oleh bahasa Minahasa lainnya seperti Tountemboan dan Tombulu. Hal tersebut bisa disimak melalui kemiripan-kemiripan kosakata bahasa Tonsawang dan bahasa Minahasa lainnya.

Kedatangan bangsa asing seperti Spanyol, Belanda, dan Jepang tidak banyak mempengaruhi eksistensi penggunaan bahasa Tonsawang dalam masyarakat dimasa lalu. Namun, sentralisasi penggunaan bahasa Indonesia di masa orde baru banyak mempengaruhi penggunaan Bahasa Tonsawang. Dalam perkembangannya memasuki masa globalisasi dan modernisasi yang sarat akan kemajuan IPTEK, telah ikut mengubah pola hidup dan berkomunikasi banyak orang termasuk anak Suku Tonsawang. Hal ini tidak hanya dialami oleh anak muda namun mewabah ke orang dewasa. Tanpa disadari Bahasa Tonsawang mulai tergerus arus globalisasi dengan kecenderungan generasi dalam penuturan bahasa yang tak tertata dalam budaya yang sehat.

Bahasa Tonsawang kian lama, semakin dilupakan serta ditinggalkan dalam komunikasi warga. Stigmatisasi bahasa daerah sebagai identitas golongan masyarakat primitif mulai terpola dalam pikiran para generasi muda. Anak-anak muda yang berbahasa Tonsawang dengan lancar dianggap udik/kuno serta identik dengan pemuda dari wilayah pinggiran. Orang tua tanpa rasa bersalah ikut-ikutan meninggalkan bahasa Tonsawang. Pemerintah tidak lagi memberikan porsi bagi pelestarian Bahasa Tonsawang dalam kurikulum pendidikan. Sekitaran tahun 1995 bahasa Tonsawang dimasukkan jadi kurikulum muatan lokal namun kembali hilang karena kurangnya tenaga edukator yang terampil serta kurangnya minat para siswa.

Penggunaan term-term modern yang dikenal dengan bahasa gaul menjadi opsi menarik bagi para generasi muda. Hal tersebut juga menjadi cerminan bagaimana generasi muda mengembangkan pola komunikasi dalam aktifitas sosial. Tokoh-tokoh agama di Tombatu mulai membatasi dan meninggalkan budaya lokal dan mengembangkan budaya barat maupun timur tengah. Budaya lokal dianggap sebagai hal mistik yang menyesatkan dalam paradigma fanatisme sempit beberapa tokoh agama. Namun, ada juga yang tetap melestarikannya melalui penamaan organisasi keagamaan serta liturgi atau prosesi ibadah seperti yang dilakukan GMIM Iwekahalesan Betelen.

Desentralisasi pemerintah dengan pemberian otonomi bagi daerah sekiranya menjadi peluang bagi identitas-identitas kedaerahan bertahan hidup dan tetap lestari. Namun konsep tersebut menjadi polemik dalam kurikulum pendidikan nasional yang mengutamakan nuansa nasionalitas dan membenam kearifan lokal. Ruang untuk otonomi daerah dibatasi dalam rangka mempromosikan kesatuan nasional dan desain norma-norma nasional. Buku teks yang secara eksplisit berhubungan dengan warisan Budaya lokal Minahasa khususnya Tonsawang menjadi hal yang langka karena porsinya sangat dibatasi dalam kurikulum dan fasilitas.

B. Kebangkitan Bahasa Tonsawang

Problematika ini menuntut usaha keras yang terintegrasi dan pola pikir yang kritis serta kontributif. Kebangkitan bahasa Tonsawang mulai terlihat dari minat anak Suku Tonsawang yang mulai tumbuh melalui upaya generasi muda untuk pelan-pelan mencari dan mempelajari kembali bahasa Tonsawang. Belajar bahasa Tonsawang mulai menjadi hal yang menarik bagi saya secara pribadi ketika berbagi kosakata dengan teman-teman sesama anak Suku Tonsawang dan terkadang dibagikan juga untuk teman-teman dari suku dan negara lain. Dalam percakapan dengan Irjen Purnawirawan DR. Benny Jozua Mamoto, SH, MSiyang juga Ketua Umum K3 (Kerukunan Keluarga Kawanua) disela-sela acara HUT K3 ke 40 dan Festival Malesung di Sportmall Kelapa Gading Jakarta beberapa waktu yang lalu, sungguh menginspirasisaya ketika beliau menceritakan kepeduliannya terhadap pelestarian bahasa daerah di Sulawesi Utara.

Percakapan berlanjut di Tompaso tepatnya di Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Beliau menceritakan banyak hal termasuk mempelopori peluncuran kamus Bahasa Tonsawang yang disusun oleh Drs. Ferdinand Kalangi Cs dan pembuatan e-dictionary atau aplikasi kamus online. Kamus Online akan dirancang dengan menggunakan tenaga ahli informatika yang handal sehingga mempermudah generasi muda dalam mengakses serta mempelajari Bahasa Tonsawang.Digitalisasi budaya termasuk bahasa menarik minat generasi muda untuk melestarikan budaya daerah serta memberi stimulan untuk mengembangkan dengan cara yang lebih kreatif lagi.

Masa depan bahasa Tonsawang sangat bergantung pada usaha dan peran generasi kita saat ini. Ada dua pilihan bagi masa depan bahasa Tonsawang, membiarkan bahasa Tonsawang punah atau mengupayakan pelestariannya. Sebagai aset budaya, bahasa Tonsawang perlu dilestarikan. Pelestarian bahasa Tonsawang sebagai bahasa daerah perlu dilakukan karena bahasa Tonsawang bukan sekedar bahasa daerah, tetapi merupakan lambang jati diri suku Tonsawang dan lambang identitas suku Tonsawang. Dengan melestarikan bahasa berarti melestarikan budaya, jati diri dan identitas suku Tonsawang.

IV. Upaya dalam Melestarikan Bahasa Tonsawang

Ada beberapa upaya dalam melestarikan bahasa Tonsawang baik melalui pendekat formal maupun non-formal:

1.Digitalisasi bahasa Tonsawang melalui visualisasi media-media digital secara inovatif dan kreatif;

2.Revitalisasi bahasa Tonsawang melalui pendokumentasian bahasa dan satra daerah, pemetaan bahasa, dan pembuatan kamus bahasa Tonsawang serta penyempurnaannya secara kontinyu;

3.Meningkatkan pemakaian bahasa Tonsawang dengan memaksimalkan penggunaanya, yakni mulai memasukkan bahasa Tonsawang dalam kurikulum sebagai muatan lokal,

4.Orang tua di rumah menggunakan bahasa daerah (banyak orang tua lebih memilih pakai bahasa Melayu Manado, Indonesia bahkan asing),

5.Memberikan nama jalan dan informasi layanan umum serta penamaan gedung dalam bahasa Tonsawang;

6.Membuat acuan (ejaan) bahasa Tonsawang untuk dipedomani dalam pemakaian dan menyusun tata bahasa dari bahasa Tonsawang,

7.Pemerintah membuat perda (peraturan daerah) tentang penggunaan bahasa Tonsawang;

8.Mengintensifkan siaran-siaran berbahasa Tonsawang baik di radio maupun di televise (jika nanti memiliki media elektronik di Tombatu),

9.Pihak-pihak yang terkait diharapkan dapat membuat even-even yang melibatkan berbagai kalangan untuk mengikutinya. Misalnya, dinas yang terkait membuat lomba pidato berbahasa Tonsawang, lomba baca cerita rakyat, sayembara cerita rakyat dan lain-lain

10.Penggunaan bahasa Tonsawang dalam liturgi ibadah atau prosesi keagamaan,

11.Pelestarian budaya daerah melalui pementasan seni dan budaya berbahasa Tonsawang.

Dalam masyarakat Tombatu misalnya, Tarian Maengket, Cakalele/Kabasaran, lagu-lagu berbahasa Tonsawang. Agar lebih menarik bisa juga dibuat sanggar tari atau sanggar seni,

12.Pembuatan Komunitas Pencinta Bahasa dengan melatih generasi muda dalam berbahasa daerah tapi juga bahasa asing agar dapat mengajarkan bahasa Tonsawang kepada wisatawan asing. (harsen28092014).

Yomem hita mahajar mawahasa bahasa i hita (bahasa Tonsawang). Naam monokia bo sa naam iwawatala "Pahatuan Bo Pahalowiden, Kama hamang e' na'inge hita'i pahasa" @harsen_roy




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline