BELAKANGAN ini Eko semakin sering memuji-muji istrinya. Selama enam hari dalam satu minggu Eko tak henti membanggakan istrinya. Setelah hari Sabtu dinyatakan sebagai hari libur resmi, setidaknya kepada saya, dalam seminggu Eko memang ‘cuma’ memuji-muji istrinya sebanyak lima hari. Namun intensitas pujiannya semakin tinggi.
Saya mencoba memahami perilaku Eko itu sebagai “sindrom ngidam pengantin baru”. Maklum, belum genap setahun Eko menjadi suami Lili. Wajar saja jika pandangan suami terhadap istri atau sebaliknya, semuanya masih serba indah, serba baik, serba beres, serba patut dipuji dan dibanggakan.
Pada usia perkawinan yang masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, pasangan suami-istri biasanya memang belum sampai pada tahap mampu melihat dan menerima kekurangan-kekurangan yang ada pada diri pasangannya. Yang terlihat hanyalah kelebihannya, keistimewaannya dan hal-hal yang baik-baik lainnya.
Kesimpulan itu saya peroleh dari pengalaman berumahtangga sepanjang 25 tahun lewat. Barangkali memang tidak ilmiah, tapi rasa-rasanya kok ada benarnya. Artinya, pada tahun-tahun pertama perkawinan, saya juga seperti Eko. Merasa bahagia, karena setiap hari bisa berdekatan dan mengagumi kecantikan istri.
Tapi, lewat dari 5 tahun kemudian, terjadilah suatu perubahan. Saya mulai melihat kekurangan yang ada pada diri istri saya, yang dulu tak pernah saya ketahui atau mungkin terlewatkan. Misalnya, ternyata hidung istri saya jauh lebih pesek dari yang dulu yang pernah saya lihat ketika masih pacaran. Bahwa kalau lagi ngambek, istri saya bisa melontarkan teriakan mirip Tarzan. Bahwa…, ternyata banyak lagi kekurangan, atau keanehan, yang tiba-tiba saja terlihat setelah masa pengantin baru berlalu. Dan bukan tidak mungkin pula istri saya, pada saat yang sama, juga melihat kekurangan dan “kelainan” yang selama ini tersembunyi di balik sikap lemah lembut saya.
Kenyataan “baru” itu sempat membuat saya dan istri shock. Kami jadi sering terlibat konflik, sebelum akhirnya bisa saling menyadari bahwa, “Perkawinan hanya bisa membuahkan kebahagian apabila suami-istri ikhlas menerima kekurangan pasangan hidupnya,” begitu dulu istri saya pernah berkata.
Saya kira, istri saya ada benarnya.
“Tadi malam saya dibangunkan istri saya hanya untuk disuruh mengelus-elus perutnya. Padahal saya ngantuk banget. Tapi, mau tak mau saya lakukan juga. Maklum, istri saya kan sedang ngidam. Permintaannya sering aneh-aneh,“ kata Eko, membuyarkan lamunan saya tentang rumah tangga bahagia.
"Ya, ya…, istri kalau ngidam memang begitu,” kata saya membenarkan.
“Jadi, istri Mas waktu ngidam juga minta yang aneh-aneh?” tanya Eko.
Saya mengangguk.
“Apa pernah minta dibelikan duren, padahal sedang tidak musimnya?”
Saya mengangguk lagi.
“Wah, kalau begitu sama, dong! Hampir setiap hari Lili minta dibelikan belimbing, kelengkeng, mangga…, banyak lagi deh maunya! Kalau sedang musimnya sih gampang ditemukan di pasar. Tapi, kalau nggak musim, wuuuh…., saya terpaksa keliling ke mana-mana sampai dapat. Capek juga, sih. Tapi, demi istri tercinta yang sedang ngidam, capek berat juga nggak apalah. Toh kalau kita bisa memenuhi permintaan istri, rasanya bahagiaaaa...,” kata Eko lagi, sambil matanya terpejam membayangkan entah apa.
“Ya, ya, memang begitu, memang bahagia,” kata saya membenarkan.
“Jadi, Mas dulu juga begitu ya? Apa Mas dulu juga merasa bahagia jika bisa memenuhi permintaan istri yang sedang ngidam?” tanya Eko antusias.
Saya mengangguk membenarkan. Ya, ya..., dulu saya memang pernah seperti Eko, merasa bahagia jika bisa memenuhi permintaan istri saat sedang ngidam. Betapapun permintaannya super aneh, dan hampir mustahil dapat saya wujudkan, toh saya akan berusaha keras memenuhinya.
“Wah, kalau begitu Mas pernah bahagia sebanyak empat kali, dong? Sesuai dengan jumlah anak yang dilahirkan istri Mas,” kata Eko lagi, entah memuji entah ngledek.
Saya terdiam. Tak mengangguk, juga tak menggeleng. Saya memang bukan peserta KB yang sukses. Anak saya empat. Betul juga kata Eko. Saya memang pernah bekerja keras kalang-kabut memenuhi permintaan istri yang ngidam sebanyak empat kali. Tapi apa betul itu juga berarti saya mengalami rasa bahagiaaa—dengan beberapa a—sebanyak empat kali juga?
Dulu, ketika akhirnya saya merasa sangat capek akibat terlalu sering disuruh memenuhi permintaan istri dengan alasan ngidam, saya pernah bertanya pada istri. “Mengapa sih kalau kamu ngidam kok permintaanmu selalu aneh-aneh? Bikin saya capek kalang kabut memenuhi keinginanmu?”
Cukup lama istri saya tak menyahut. Diam. Lalu tersenyum, dan nyeletuk santai. “Saya kasih tau tapi jangan marah ya?"
“Ya enggaklah. Dikasih tau kok marah,“ kata saya mantap.
Istri saya diam lagi. Sepertinya tampak bimbang untuk berterus terang.
“Kok malah diem?” desak saya.
Istri saya menarik napas panjang, kemudian baru memberikan pengakuan, “Begini…, saya sengaja minta yang aneh-aneh supaya kamu ikut capek. Kamu pikir orang hamil itu enak? Capek, lho. Badan jadi berat. Mau tidur tengkurap nggak bisa. Telentang terus pinggang panas. Miring perut sakit. Otot rasanya jadi pegal semua. Napas jadi susah. Muka jadi tembem. Hamil itu capek banget, tau? Enak kamu dong kalau nggak ikut ngerasain capeknya. Makanya itu saya sengaja minta yang aneh-aneh supaya kamu capek. Hihihi…”
Sejak mendengar pengakuan itu, rasa bahagia saya memang menjadi berkurang. Bahkan saya sempat keki, karena merasa telah “diperbudak” istri.
“Sebetunya apa sih Mas yang membuat istri kalau ngidam kok minta yang aneh-aneh?” tanya Eko membuyarkan lamunan saya.
“Anu…, mungkin karena ada perubahan biologis pada dirinya. Orang sakit bisul saja badan bisa meriang kok. Iya, kan? Apalagi kalau di dalam tubuh kita tumbuh janin bayi? Pastilah terjadi perubahan biologis dan psikologis yang hebat,” kata saya mencoba menjawab secara meyakinkan—paling tidak supaya jawaban tersebut terdengar ilmiah.
“Oo…, begitu ya,” kata Eko manggut-manggut.
Sebetulnya saya ingin berterus terang menyampaikan pengakuan istri saya pada Eko. Tapi, saya tak tega membuat Eko kehilangan rasa bahagia seperti yang dulu pernah saya alami. Jadi, saya pilih jawaban yang tadi itu, yang kedengaran agak ilmiah sebab ada kata-kata biologis dan psikologisnya.
Saya tak tahu persis apakah jawaban yang saya berikan pada Eko itu seratus persen benar. Tapi, paling tidak sudah bisa membuat Eko manggut-manggut saat mendengarnya. Saya cuma agak malu telah mengucapkan suatu pernyataan yang terdengar ilmiah padahal ngawur. Tapi, kalau saya beberkan pengakuan istri saya, apakah rasa capek dan lelah akibat kalang-kabut memenuhi permintaan istrinya yang sedang ngidam masih bisa membuat Eko bahagia?
Saya pikir, kebahagiaan memang tidak ilmiah. ***
@harrytjahjono
*Cerpen ini pernah dimuat di tabloid Bintang Indonesia dan buku Suami Istri Sadarlah. Rencana akan diterbitkan ulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H