Lihat ke Halaman Asli

Para Istri (Orang) Tersayang

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BERTAMU ke rumah Mbak Luna, ternyata tak hanya membuat saya dapat mengagumi senyumnya yang indah, atau membiarkan diri terpesona tatapan matanya yang selalu tampak memuja. Tak cuma itu. Tapi juga dapat mendengarkan obrolan tamu-tamu Mbak Luna, para ibu rumah tangga, yang hampir setiap sore berkumpul di rumah itu.

Saya baru menyadari betapa asyik mendengarkan obrolan para ibu rumah tangga, setelah beberapa kali bertamu di rumah Mbak Luna. Mulanya secara tak sengaja. Maklum, jika bertamu, biasanya saya selalu memilih duduk di teras. Kadang ditemani Mas Pri—suami Mbak Luna yang jadi polisi, kadang berdua Maya—putri mereka yang baru kelas IV SD. Tapi sering juga sendiri. Maklum, wong niat saya bertamu itu cuma untuk buang waktu supaya dapat tiba di rumah tepat pukul setengah sembilan malam, supaya tak kena macet di jalan. Tak lebih dan tak kurang.

Awalnya saya merasa terganggu oleh obrolan para ibu rumah tangga itu. Karena seperti biasa terjadi di manapun, obrolan para ibu rumah tangga itu seringkali tak berjuntrung. Artinya, tak ada ujung pangkalnya. Dengan kata lain, terkadang hanya bicara ujung. Terus-menerus ujung doang.Terkadang hanya pangkal doang. Sekadar saling sahut-menyahut, tapi tak pernah berhubungan, sehingga kedengarannya seperti suasana sebuah pasar. Ada yang bicara cabe, yang lain daging, satunya lagi kelapal dan seterusnya. Tidak berhubungan, tapi ternyata bisa jadi rendang.

Dan lama-lama saya mulai terbiasa. Lebih lama lagi semakin menikmati.  Bahkan akhirnya mampu menangkap “makna” yang tersembunyi dalam bisingnya lalu-lintas percakapan yang berlangsung dalam tempo tinggi itu--suatu perbincangan yang membuat saya terlena keasyikan nguping.

“Suami saya semakin tua semakin sayang sama saya lho, Mbak Luna,” kata ibu rumah tangga yang biasa dipanggil Cut Tara.

“Oya?”

“Iya. Saya sendiri awalnya juga nggak begitu yakin, deh. Maklum, biasanya laki-laki itu kan seperti daun keladi, tua-tua makin menjadi-jadi,” kata Cut Tara.

“Kok seperti daun keladi?” Tanya Mbak Luna.

“Eh iya…, seperti kelapa! Iya, kan? Contohnya banyaklah, Mbak Luna. Begitu pernikahan sudah lewat 15 tahun, suami mulai melirik daun muda deeeh…, huh! Biasanya begitu, kan?”

“Ehem!”

“Tapi syukurlah suami saya nggak begitu. Sumprit! Bener! Andeh, kan? Malah sekarang ini dia semakin berterus terang dalam menunjukkan rasa sayangnya kepada saya. Bener, lho!”

“Berterus terang bagaimana?” tanya Mbak Lusi.

“Ya terus terang…, misalnya pulang-pulang membawakan gelang emas seberat seratus gram. Waktu saya tanya, kenapa tiba-tiba membelikan gelang? Kan saya belum ulang tahun? Dia bilang ini hadiah khusus, sebagai tanda rasa sayang…, wah! Begitu lho caranya menunjukkan rasa sayangnya. Lha ini lho gelangnya…, bagus ‘kan? Ini beratnya 100 gram lho,” kata Cut Tara sambil menunjukkan gelang emas yang melingkar di lengan kanannya.

“Kalau suami saya, cara menunjukkan rasa sayangnya lain, deh,” tukas wanita yang biasa disebut Zus Rita.

“Lain bagaimana?” tanya Mbak Luna.

“Romantis….”

”Romantis bagaimana?” desak Cut Tara terpancing.

“Romantis…, maunya dua-duaan terus…, nggak mau diganggu anak-anak,” Zus Rita tersenyum malu.

“Kalau suami pulang, anak-anak harus diusir dong?” olok Mbak Luna.

“Ya enggak segitu-gitu amat, deh. Paling tidak seminggu sekali, saya selalu diajak dua-duaan sama suami. Tidak di rumah, tapi di hotel…”

“Di hotel?” Mbak Luna terbelalak.

“Iya. Di hotel bintang lima, lagi. Kalau saya bilang sayang duitnya, suami saya malah ngambek. Katanya, dulu kita masih hidup susah, nggak bisa berbulan madu di hotel mewah. Nah, sekarang kehidupan ekonomi kita sudah mapan, anak-anak sudah besar, apa salahnya kita menikmati bulan madu di hotel berbintang? Memang mahal, sih. Tapi, harga kebahagiaan kan memang mahal…, begitu kata suami saya…” dan Zus Rita memejamkan mata agak lama, seolah terkenang ranjang hotel bintang lima yang….oh!

Trus truss…,” desak Cut Tara penasaran.

“Yaah…, sejak tiga bulan yang lalu, setiap akhir pekan, kami berdua selalu menginap di hotel. Kalau tidak di Sheraton, ya paling tidak di Sultan…”

“Pantesan kalau hari Sabtu nggak pernah ke sini,” kata Mbak Luna sembari mencubit lengan Zuz Rita yang pura-pura mengaduh lantas tertawa kecil.

Cut Tara, entah kenapa, terpancing ikut tertawa kecil.

“Cara suami saya menunjukkan kasih sayangnya hampir mirip sama suaminya Cut Tara, deh,” sela ibu rumah tangga lain yang selalu minta dipanggil Yayangnya Ariel.

“Oya?”

“Ho’oh. Tapi ngajaknya agak jauh…, ke luar negeri.”

“Wah, enak dong!” seru Cut Tara.

“Sebetulnya saya lebih suka uangnya, sih. Maklum, ongkos ke luar negeri kan cukup besar.Tapi, suami saya memaksa. Soalnya kalau di luar negeri, saya bisa makan es tanpa harus jadi batuk…”

“Lho, memangnya kalau makan es di alam negeri jadi batuk?” tanya Mbak Luna, nadanya takjub.

“Wooo…, Mbak Luna bagaimana sih? Masak nggak tahu sih kalau selama ini saya nggak pernah berani makan es,? Saya inisudah lama nggak pernah makan es lagi lho, Mbak. Nggak bisa. Tiap kali makan es, pasti jadi batuk. Alergi gitu loh! Padahal saya ini kan boleh dibilang penggemar es…”

“Oo…, gitu ya,” Mbak Luna takjub sekali lagi.

“Anehnya, kalau makan esnya di luar negeri, saya kok nggak batuk ya? Biar makan esnya di tengah hujan salju, nggak apa-apa tuh? Nggak batuk, nggak pilek. Aneh, kan?”

“Iya ya…, kok aneh ya, ” Mbak Luna ikut merasa aneh.

“Makanya itu, suami saya jadi sering mengajak pergi ke luar negeri, supaya saya bisa sering-sering makan es kegemaran saya sejak kecil…,” kata Yayangnya Ariel.

“Itu tandanya suami sayang istriii…,” kata Cut Tara hampir histeris.

Terdengar tawa ceria. Tawa yang terdengar bahagiaaa….

*

MENDENGAR obrolan para ibu rumah tangga yang bertamu di rumah Mbak Luna, saya jadi merasa berdosa pada istri. Ya. Merasa berdosa, karena tak bisa membelikan gelang, tak pernah mengajak istri ke hotel berbintang, apalagi ke luar negeri…

Saya juga merasa bersalah, karena seringkali menegur istri agar jangan terlalu sering ngobrol dengan tetangga. Menurut saya, obrolan antar istri, biasanya hanya akan terjerumus menjelek-jelekkan suami sendiri. Tapi, setelah mendengar obrolan para istri di rumah Mbak Luna, saya jadi menyesal telah berprasangka buruk justru kepada istri sendiri. Nyatanya, pembicaraan di antara para istri, cenderung membaik-baikkan, atau bahkan memuji suami.

Justru jika para suami berkumpul, biasanya selalu membicarakan keburukan istri. Apalagi jika teman bicaranya wanita, laki-laki cenderung mengeluhkan kekurangan istrinya. Biasanya begitu—setidaknya seperti yang saya lihat di lingkungan saya. Dan, jika laki-laki mengeluhkan kekurangan istrinya pada wanita lain, biasanya ada maksud-maksud tersembunyi. Supaya bisa anu…, misalnya.

Sungguh jauh berbeda dengan obrolan para istri yang bertamu di rumah Mbak Lunja. Mereka tampak tulus memuji suami. Terdengar indah—meski terkesan bahwa pujian itu dilontarkan dengan maksud sekaligus pamer bahwa ia baru saja dibelikan gelang, tiap akhir pekan menginap di hotel berbintang, sering pergi ke luar negeri dan seterusnya….

Tapi tidak apa-apa, bukan?

Para istri tersayang memang berhak mendapatkan itu semua, bukan?

Kecuali istri saya saja yang bukan….***

*Cerpen ini pernah dimuat di tabloid Bintang Indonesia dan buku Suami Istri Sadarlah. Rencana akan diterbitkan ulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline