Lihat ke Halaman Asli

Maklumat Jaran Kepang: Urip Iku Urup

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Minggu malam, 9 September 2012, pukul 23.55 WIB, kompasianer Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto mengunggah tulisan yang membuat saya seperti ditempeleng preman. Berikut saya petik tulisan Mas Anton yang berjudul Bibit Waluyo: “Jaran Kepang Kesenian Paling Jelek Sedunia.”

“Saya terhenyak membaca berita di Kompas.com malam ini tentang Gubernur Bibit Waluyo yang mengomentari jaran kepang dengan amat menyakitkan bagi pekerja seni, utamanya pekerja seni Jaran Kepang (Kuda Lumping) yang amat populer di Jawa Tengah.  Menurut berita Kompas.com Minggu, (9/9/2012)

“Kesenian jaran kepang adalah kesenian yang paling jelek sedunia. Memalukan, wali kota Magelang menampilkan kesenian itu untuk acara seperti ini”.

(Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah)

Ucapan nyelekit ini diucapkannya pada acara The 14th Merapi and Borobudur Senior’s Amateur Golf Tournament Competing The Hamengku Buwono X Cup di Borobudur International Golf and Country Club Kota Magelang, Minggu (9/9/2012) malam. Sebuah acara yang sepenuhnya berbahasa Inggris,  bernafaskan olahraga elite kemudian dibenturkan oleh kebudayaan rakyat yang dinilai gubernurnya sebagai ‘Memalukan’.”

Membaca tulisan yang getir itu kantuk saya langsung hilang, dan membatin, “Gusti Alllah ora sare.” Ya..., Tuhan tidak tidur, dan malam itu saya menemani-Nya begadang sembari menulis komentar panjang (banget) untuk menanggapi tulisan Mas Anton. Usai mengunggah komentar, saya merasa agak lega dan, alhamdulillah, sekitar pukul 03.30-an bisa tertidur.

Paginya, setelah menyelesaikan ‘upacara rutin’ ngopi, momong cucu dan sedikit bikin jengkel istri, seperti biasa saya nongkrong di depan komputer. Saya baca suaramerdeka.com yang menulis: “Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) berharap pernyataan Bibit itu tidak serius atau bercanda, sebab mantan Pangkostrad itu selama ini sering bicara ceplas-ceplos dan bergurau. Demikian dikatakan Ketua Bidang Kerja Sama DKJT Gunoto Saparie menanggapi pernyataan Bibit.”

Dahulu sekali saya suka nimbrung acara sastra KPS (kalau tidak salah singkatan Kelompok Penulis Semarang), sekadar ngobrol atau nonton pentas Bambang Sadono, Timur, Eko Tunas, Najib Kertapati, Akhlis Suryapati dll. Juga sering diajak kluyuran Pamuji—wartawan penyair yang setia menemani warga desa yang rumah dan sawah ladangnya tenggelam di dasar proyek waduk Kedung Ombo. Hanya menemani, tapi seringkali terpaksa ikut bersitegang dengan aparat yang berkeras merelokasi paksa warga yang bertahan di tepian waduk. Semuanya itu mendadak muncul laksana hologram 3D gara-gara membaca harapan DKJT. Dan saya hanya bisa berharap DKJT tidak serius atau hanya bercanda.

Saya juga membaca TRIBUNJOGJA.COM, SEMARANG - Gubernur Jateng Bibit Waluyo membantah pernyataan yang menyebut kesenian Jathilan atau Jaran Kepang sebagai kesenian terjelek di dunia. Ia berkilah yang dimaksudnya adalah penampilan grup jathilan yang membuka acara The 14th Merapi and Borobudur Senior's Amateur Golf Tournament Competing The Hamengku Buwono X Cup di Borobudur International Golf and Country Club Kota Magelang pada Minggu (9/6/2012) malam.

"Jateng kan punya yang lebih baik, kok memamerkan yang buruk. Gamelan saja diikat-ikat dengan plastik begitu," tutur Bibit di perpustakaan daerah Jawa Tengah, Senin (10/9/2012). "Tamunya dari seluruh indonesia bahkan di dunia," tambahnya. Orang nomor satu di Jateng itu mengatakan seharusnya Jathilan pada Minggu malam itu bisa dikemas lebih baik. Mulai dari aksesoris hingga gerakan bisa digarap lebih baik. "Kalau yang lain (jathilan) oke, cuma tadi malam," bantahnya.(*)

Kesenian yang mengritik pejabat atau pemerintah dengan idiom humor, satire, komedi atau dagelan yang sarkastik sekalipun, niscaya menjadi tanggung jawab seniman kreatornya. Setidaknya, saya belum pernah mendengar ada seniman yang mengelak dari pertanggungjawaban secara hukum maupun secara artistik dengan dalih sekadar melawak. Humor hanyalah ‘siasat’ agar kritik yang keras terdengar lunak, supaya kritik yang tajam tidak sampai melukai hati. Sebaliknya, kritik keras dan tajam yang disampaikan di depan umum dengan bahasa hiperbola dan vulgar, hanya akan mempermalukan yang dikritik maupun yang mengritik—meskipun belakangan dibasuh dalih kebiasaan bercanda.

SEMASA  jadi Gubernur Jakarta, Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin pernah diberitakan turun dari mobil dinas dan menghentikan biskota yang melaju ugal-ugalan kemudian menampar sopirnya. Tahu yang menampar jenderal, sopir biskota berdiri tegak sempurna dan memberi hormat. Bang Ali menjelaskan kesalahan dan menerima pengakuan bersalah dengan tepukan di pundak sopir. Penumpang biskota dan kerumunan orang yang semula hanya diam menonton, serentak bertepuk tangan mengelu-elukan Bang Ali yang berjalan meninggalkan sopir dalam posisi tegak sempurna menghormat.

Mengapa pers dan masyarakat bahkan juga si sopir biskota yang ditampar bisa menerima “tindakkekerasan” Bang Ali sebagai hal yang wajar bahkan benar? Sebabnya, antara lain, karena masyarakat mengetahui bahwa semua sopir di perusahaan biskota yang ugal-ugalan itu adalah para prajurit Marinir yang dikaryakan untuk melayani pengguna biskota. Publik menilai peristiwa tersebut sebagai ‘urusan internal militer’ yang dikenal keras dalam hal disiplin. Lagi pula prajurit Marinir yang dikaryakan jadi sopir itu justru merasa bangga dan berterima kasih karena ditampar Bang Ali. Ditendang kolonel saja prajurit masih bersukur, apalagi ditampar jenderal.

Dengan wawasan, apresiasi dan visi kebudayaan yang lebih tinggi dari bintang tiga di pundaknya, Bang Ali menggagas dan membangun Taman Ismail Marzuki (TIM) sekaligus memberikan kebebasan berekspresi kepada para seniman. Padahal, kebebasan berekspresi pada masa itu sudah dilumpuhkan rezim Orde Baru dengan jurus tindak subversif. Dengan perlindungan Bang Ali, TIM yang diresmikan pada 10 Nopember 1968 bisa dibilang menjadi satu-satunya ‘wilayah’ di Indonesia yang masih tersisa bagi kebebasan berekspresi.

Tanpa jaminan dan perlindungan Bang Ali, kebebasan berekspresi hanya akan membuat seniman masuk bui Orde Baru. Meskipun daya hidup kreativitas tidakbisa dipenjarakan, kebebasan berekspresi telah memberi ruang bagi lahirnya seniman-seniman dan karya-karya seni yang bermutu. Kita bersyukur karena Indonesia memiliki Rendra, Ki Manteb Sudarsono, Sutardji Calsoum Bachri, Putu Wijaya, Riantiarno dan banyak lagi seniman besar lainnya. Mereka telah membuat Indonesia bukan sekadar ‘toko kelontong’ yang memajang produk pabrikan bermerk seni. Hongkong dan Singapura adalah contoh Negara yang ‘miskin’ seniman dan secara sadar menjadi “toko kelontong” kelas internasional. Maraknya pembangunan mal dan supermal di penjuru daerah Nusantara yang hampir seluruhnya tidak punya gedung kesenian atau tempat semacam TIM, tampaknya mengindikasikan Indonesia yang sedang bermetamorfose jadi “toko kelontong” pula.

Sebagai gubernur, Bang Ali juga pernah marah besar kepada seniman yang dianggapnya kebablasan menikmati “kebebasan berekspresi” TIM. Dan Putu Wijaya adalah dramawan yang pernah dilabrak Bang Ali. Selengkapnya dapat dibaca dalam catatan Putu Wijaya yang ditulis pada 3 Juni 2003 dan saya petik dari putuwijaya.worpress.com:

“Pada 1975, saat membuat pertunjukan teater berjudul LHO, di akhir pertunjukan di Teater Arena TIM, saya persilakan penonton keluar sebab pertunjukan akan dilanjutkan di plaza. Kemudian saya minta semua pemain naik ke atas gerobak telanjang bulat. Gerobak ditarik keluar dan para pemain dicemplungkan ke kolam seperti sampah.

Koran meributkan pertunjukan itu. Bang Ali mencak-mencak dan menuding saya dengan sangat keras. Kemudian seorang wartawan (Tjahjono) mewawancarai saya saat dipanggil Komdak, bagaimana pendapat saya. Saya katakan pada waktu itu, seandainya saya Gubernur, saya juga akan melakukan persis seperti apa yang dilakukan Ali Sadikin, memaki-maki saya.

Belakangan saya ketahui bahwa Ali Sadikin dengan sengaja mendahului mengecam saya, karena dia tidak mau ada tangan lain menyentuh TIM. Saat itu TIM memang merupakan tempat bebas yang menggelisahkan penguasa, sehingga mereka gerah untuk mencekalnya. Semua itu menjelaskan bahwa cinta Ali Sadikin pada perkembangan budaya bukan hanya sekedar sedekahan dari orang yang berkuasa pada warganya yang butuh dukungan, tetapi karena sayang.”

Tapi "kasus” Putu Wijaya tidak mengganggu kerja sama dan hubungan para seniman dengan Bang Ali. Para seniman yang bergiat di TIM j tetap bewrgaul akrab dengan Bang Ali—meskipun Gubernur DKI itu selalu serius dan jarang bercanda.

MAGELANG, hemat saya, kota yang sejuk dan sehat. Warga Magelang juga ramah, hangat dan santun. di Magelang, saya pernah menginap dua minggu di rumah Mas Nomo Koeswoyo yang dibangun di atas “jurang” cukup curam. Setiap sore, sambil ngopi danmemandangi jurang yang ditumbuhi bermacam jenis pohon, saya sering mendengarkan lagu-lagu lama ciptaan Mas Nomo. Salah satunya lagu jenaka berjudul Jaranan, yang dinyanyikan Mas Nomo dalam album No Koes, grup band tandingan Koes Plus. Petikan syairnya sebagai berikut:

Jaran kepang mangan pari, klambi abang sing marai

Jas bukak iket blangkon, sama jugak sami mawon

Terjemahan bebasnya kira-kira begini: kuda kepang makan padi, baju merah yang memulai. Jas terbuka ikat kepala blangkon, dua-duanya ternyata sama dan serupa belaka.

Saat menginap di Magelang itu pula saya mendengar dari Mas Nomo tentang"filsafat" Urip iku Urup yang katanja “mengandung makna filosofis tingkat tinggi sekaligus mencerminkan kearifan lokal warisan leluhur orang Jawa yang perlu dilestarikan bukan hanya  karena sangat penting melainkan supaya bisa dipelajari, untuk dihayati, dijalani serta dijunjung tinggi”. Kalaupun bukan filosofi jangkung (maksudnya tinggi), Urip iku Urup tentunya termasuk filosofi panjang sekali. Dan meskipun tidak terlalu ngeh, saya manggut-manggut berlagak mengerti.

Juga dijelaskan bahwa Urip iku Urup mengandung (tapi bukan hamil) dua pengertian. Pertama, Urip iku (hidup itu) Urup (memberi); dalam arti manusia itu hidup atau menjadi layak hidup karena bisa memberi dan bukan meminta. Kedua, Urip iku (hidup itu) Urup (nyala cahaya); dalam arti manusia itu hidup atau menjadi layak hidup karena bisa menjadi cahaya yang menerangi kehidupan sesama dan bukan merenggut cahaya hidup orang lain hingga gelap penuh kesedihan.

Saya tidak punya keberanian menilai apalagi menetapkan bahwa Urip iku Urup termasuk jenis “filosofi tingkat tinggi”. Tapi, ketika membaca berita Irjen (Pol) Djoko Susilo yang menjabat Gubernur Akpol oleh KPK ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Simulator SIM, disusul berita tentang Gubernur Jawa Tengah yang tidak berkenan pada jaran kepang, kenangan yang muncul tentang Magelang adalah lagu jenaka Jaranan No Koes dan "filosofi tingkat tinggi" Urip iku Urup.

Dan saya hanya bisa membatin, berulang-ulang, bahwa, “Gusti Allah ora sare.”

Ya, ya…, Tuhan tidak tidur.

Tuhan selalu begadang antara lain karena menemani wong cilik seperti seniman rakyat pelestari kesenian jathilan yang juga tidak bisa tidur karena hatinya dilukai, harga dirinya dipermalukan. Sayang BangAli sudah almarhum sehingga mustahil bagi mereka untuk sekadar berharap mendapat tepukan di pundak dari seorang gubernur….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline