Sudah hampir setahun lalu saya curhat kepada Mas Arswendo, mengeluhkan pemberitaan media massa yang diskriminatif, bahkan cenderung tidak adil, terhadap pelaku tindak pidana kriminal dan tindak pidana korupsi. Saya juga meminta Mas Wendo menulis kolom tentang hal itu. Sebab, pendapat budayawan yang juga wartawan senior tentu akan disimak dan lebih didengar sesama jurnalis maupun oleh pengelola penerbitan pers. Seminggu kemudian Mas Wendo SMS kolom tentang itu sudah ditulis dan dimuat di suratkabar apa saya sudah lupa. Pastinya di salah satu dari tiga suratkabar ini: Media Indonesia, Seputar Indonesia atau Koran Jakarta.
Tapi, perlakuan diskriminatif yang cenderung tidak adil itu, rupanya sudah terlanjur menjadi kebiasaan, bahkan mungkin sudah mendarah daging. Sebab, sampai sekarang media massa masih tetap gemar membesar-besarkan predikat warga masyarakat pelaku tindak pidana kriminal dan sebaliknya membikin sumir tindak pidana kriminal yang dilakukan aparat penegak hukum. Sedangkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, media massa terbiasa memberikan sebutan yang santun sembari mengindahkan asas praduga tak bersalah.
Kalau polisi berhasil menangkap dua atau tiga anak muda yang mengaku sudah mencuri lebih dari tiga sepedamotor, misalnya, maka diberitakanlah di bawah judul“Komplotan Curanmor Ditangkap”. Bahkan jika salah satu pencurinya masih berstatus pelajar, maka judul beritanya “Pelajar Anggota Sindikat Curanmor Dibekuk”.
Kalau polisi hanya menangkap seorang perampok karena beberapa temannya berhasil buron, beritanya bisa berjudul “Gembong Komplotan Perampok Berhasil Diringkus”, atau “Otak Perampokan Sadis Dibekuk” sambil terkadang ditambahkan bahwa kaki si Gembong terpaksa didor karena melawan saat ditangkap dan lain sebagainya.
Begitu juga kalau ada ibu-ibu,tukang ojek atau pengangguran tertangkap menjual beberapa amplop ganja atau sebutir dua pil ekstasi atau satu gram sabu yang dikemas menjadi beberapa “paket”, maka judul beritanya bisa berbunyi “Kurir Sindikat Narkoba Diringkus” atau judul yang lebih hebat lagi.
Lain halnya jika ada polisi, hakim, atau jaksa yang tertangkap menerima suap, memakai narkoba, atau melakukan tindak kejahatan lainnya, maka selain disebut oknum juga dikategorikan sebagai polisi nakal, hakim nakal, jaksa nakal. Bahkan pernah ada wanita jaksa yang menjual barang bukti berupa ribuan butir pil ekstasi, dan laki-laki jaksa yang tertangkap tangan menerima suap miliaran rupiah, juga hanya disebut sebagai jaksa nakal. Seolah-olah tindak kriminal yang mereka lakukan itu sama dengan perbuatan anak-anak mencuri jambu tetangga.
Sedangkan terhadap pelaku tindak korupsi, media massa bersikap lebih santun. Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang belum divonis bersalah cukup disebut tersangka korupsi, setelah divonis bersalah disebut terpidana korupsi. Padahal, sesungguhnya terpidana korupsi layak disebut seekor koruptor. Sebab, bukankah sejak zaman Orde Lama para karikaturis selalu menggambarkan koruptor sebagai tikus? Lalu kenapa disebut terpidana korupsi dan bukan seekor koruptor? Untuk melengkapi kostum tahanan KPK yang dikenakan pada tersangka pelaku korupsi, sebutan seekor koruptor mestinya patut dipertimbangkan. Apalagi jika gagasan Mahfud MD membuat “kebun koruptor”menjadi kenyataan, sebutan seekor koruptor lebih cocok untuk digunakan.
Hal lain, beberapa bulan lalu media massa ramai memberitakan tindak kekerasan di Jakarta yang dilakukan sekelompok pengendara sepedamotor dengan sebutan aksi brutal “geng motor”. Penggunaan kata “geng”, selain menimbulkan kesan seram, hemat saya juga berlebihan. Anehnya, sebutan yang sama juga diberikan kepada anak-anak muda pengendara sepedamotor yang hanya gemar melakukan balapan liar di jalan umum. Selain aneh, arti kata “geng motor” menjadi rancu dan tidak jelas batasannya. Jangan-jangan jutaan pemudik bersepedamotor kelak juga disebut “geng motor”.
Ketika pers ramai memberitakan aksi kekerasan “geng motor” di Jakarta, saya pergi ke Sumedang memenuhi undangan Brigez sekaligus menemani Laksamana Sukardi yang didaulat jadi Ketua Dewan Penasihat Brigez. Selain mengukuhkan Laksamana Sukardi sebagai “keluarga Brigez”, pada acara di Sumedang itu Brigez mendeklarasikan diri sekaligus syukuran karena telah berbadan hukum sebagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP). Lebih seribu anggota Brigez berdatangan dari berbagai kotaJawa Barat. Sebagian besar anak muda usia belasan tahun. Beberapa di antaranya gadis remaja. Busana mereka dominan hitam. Dengan rantai baja putih di leher atau bergelayutan di pinggang. Gelang kulit berduri logam. Tato di lengan. Pipa celana yang sengaja disobek di bagian paha. Ada yang gondrong, gundul mengkilap, cukup banyak yang rambutnya bergaya mohawk. Sungguh penampilan yang bagi banyak orang bisa menimbulkan rasa ngeri, atau gentar. Syukurlah saya hanya melihat semuanya itu sebagai fashion yang sedang nge-trend. Dulu dandanan saya mungkin lebih aneh. Tapi toh tidak mungkin seumur hidup memakai dandanan itu-itu saja. Pada saatnya nanti dan tanpa disuruh mereka pasti akan menggantinya sendiri.
Brigez, kita tahu, adalah “geng motor” yang sesungguhnya, yang selama bertahun-tahun terlibat perkelahian dengan “geng motor” lain yang sama tersohornya di penjuru Bandung dan kota-kota sekitarnya. Ketika para senior Brigez mulai beranjak paroh baya dan menyaksikan pengaruh buruk predikat “geng motor” terhadap anak-anak muda yang bergabung jadi anggota, mereka merasa tak bisa lain kecuali harus “menebus dosa”.Dengan melembagakan diri sebagai OKP, para senior itu berkeyakinan akan lebih mampu mengontrol dan mengarahkan yuniornya.
Di akhiracara yang dijaga ketat puluhan aparat keamanan Sumedang, saya ngobrol dengan Ketua Umum Brigez, Cecep Hendra Erawan, salah satu “dedengkot” Bandung yang disegani sekaligus ditakuti.Juga dengan Sekjen Brigez, Seli Sulider, yang sejak beberapa tahun silam bekerja dan berdomisili di Jakarta.
“Kalau setelah deklarasi ini masyarakat bisa menerima dan memperlakukan Brigez sebagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda, berarti masyarakat masih ingin membina anak-anak muda dan para yunior Brigez. Seperti halnya kami para senior juga ingin membina mereka. Kalau masyarakat masih menganggap dan memperlakukan kami sebagai “geng motor”, berarti masyarakat tidak ingin membina tapi berniat membinasakan! Hahaha…,” kata Seli dilanjut derai tawa.
Membina atau membinasakan?
Mungkin Seli hanya bercanda.
Tapi, kalau media massa masih memakai istilah “geng motor” dan masyarakat sekadar mengikuti belaka, masihkah Seli kita anggap bercanda?
Kalau media massa bisa bersantun ria dengan istilah “terpidana korupsi”, mestinya juga bisa tidak gegabah menggunakan istilah berlebihan sehingga berpotensi membinasakan niat bertobat pelaku kriminal yang bukan seekor koruptor.
Membina atau membinasakan? Terpidana korupsi atau seekor koruptor? Saya pikir hal itu perlu dipikirkan. Sebab, saya pikir Seli tidak bercanda. Begitu juga saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H