Lihat ke Halaman Asli

Emilia

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen ini pernah dimuat di majalah femina

Kalau saja bisa menangis. Kalau saja bisa menjerit. Kalau saja bisa menangis dan menjerit, ulu hati Emilia barangkali tidak terlalu ngilu. Perutnya mungkin juga tidak mendadak kembung, tiba-tiba mual, bahkan ususnya bagai terpilin sehingga sup Miso, tempura dan seaweed yang belum lama ditelan kini mendesak naik mencekik leher. Maka dengan tangan gemetar Emilia meraih gelas kristal berisi air putih, lantas meneguk sedikit, sekadar membasahi rongga mulutnya yang kering dan pahit.

“Gimana, say? Kamu mengijinkan saya kawin lagi kan, say?” tanya Gulam. Lembut. Hangat. Seolah-olah sedang menawarkan sesuatu yang akan membuat Emilia bersuka-cita.

Mendengar suaminya mengulang kembali pertanyaan itu, tiba-tiba Emilia tak ingin menangis, tak ingin menjerit. Bahkan ulu hatinya tak lagi ngilu dan rasa mual di perutnya juga lenyap seketika. Pertanyaan yang berulang itu, telah membuat Emilia terbebas dari keinginan dikasihani.

“Kalau kamu ingin minta ijin menikah lagi, kenapa tidak kamu katakan di tempat lain? Kenapa harus mengajak saya makan malam di sini? Apa kamu lupa kalau tiga tahun yang lalu di tempat ini kamu meminang saya untuk jadi istrimu?” tanya Emilia. Datar. Dingin tanpa emosi.

Gulam tersenyum, atau mungkin menyeringai, lalu menyeruput jus tomat, baru kemudian menjawab lembut, “Sudahlah, say…, kamu kan tahu kalau saya memang pelupa. Tapi, di sini atau di tempat lain, toh yang akan saya katakan juga sama…, hanya minta ijin untuk kawin lagi. Iya kan, say?”

Emilia menatap lurus mata suaminya. Kemarahan, kepedihan hati dan perasaan terhina memang masih berkecamuk, tapi tidak sampai membuat akal sehatnya tersesat sehingga lepas kendali. Emilia justru semakin percaya diri ketika berkata, “Kalau kamu ingin menikah lagi, kenapa harus minta ijin saya?”

Gulam lagi-lagi tersenyum, atau mungkin menyeringai, lalu menyeruput jus tomat, baru kemudian menjawab lembut, “Memang harus dong, say…, harus minta ijin kamu. Itu karena saya tidak mau sembunyi-sembunyi. Itu karena tanpa seijin kamu maka perkawinan saya dengan Yeni tidak sah secara agama maupun secara hukum negara. Saya tidak mau berdosa karena melanggar norma agama. Saya juga tidak ingin dipenjara karena melanggar hukum negara. Kalau saya berterus terang minta ijinmu untuk kawin lagi, itu karena saya ingin hidup jujur kan, say?”

Emilia menarik napas dalam-dalam. Emilia paham, dirinya belum pernah dan mungkin tidak akan mampu menang berdebat dengan Gulam. Jangankan menang, untuk meladeni silat lidah Gulam yang pernah kuliah hukum lantas pindah jurusan sosial-politik,  Emilia belum pernah sanggup.

“Jadi gimana, say? Kamu ijinkan atau bagaimana? Saya tidak akan memaksamu, say. Tapi, saya harus mengingatkan bahwa agama kita tidak melarang polygami. Iya kan, say?” kata Gulam. Lembut. Hangat.

“Ya…, saya tahu. Tapi, saya minta waktu untuk memikirkannya,” sahut Emilia. Datar. Dingin tanpa emosi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline