Sekitar tahun 1988 atau persis 35 tahun lalu, SD Negeri 02 Tanjung Pinang, Bintan Utara, Kepulauan Riau menerima kunjungan para insan pengajar dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Pusat, Jakarta. Saat itu kementerian masih menggunakan departemen. Kehadiran tim Jakarta adalah untuk memantau kegiatan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Nasional di tahun itu. Perlu diketahui, awal kegiatan Porseni sendiri dilaksanakan sejak program Pembangunan Lima Tahun II (Pelita II) pada masa Orde Baru (Orba) sekitar tahun 1974-1979. Dan sejak saat itu hingga sekarang, Porseni pun menjadi ajang pencarian atlet dari Sabang sampai Merauke.
Salah satu cabang seni yang dikompetisikan pada Porseni adalah lomba baca puisi dan pantun. Tanjung Pinang -pada 1988 belum jadi Ibukota Kepulauan Riau, adalah salah satu daerah yang melahirkan banyak pelantun puisi yang handal. Karena itulah tim pengajar pusat Jakarta rutin melakukan inspeksi potensi seni puisi ke Tanjung Pinang. Kali ini, target para tim pusat adalah SD Negeri 02 Tanjung Pinang, karena terdapat beberapa bibit unggul di sekolah itu. Meski lomba baca puisi dan pantun tingkat SD juga dilaksanakan juga di daerah lainnya, seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Irian (Papua sekarang), namun Sumatera merajai posisi puncak.
Sumatera spesialis
Para peserta lomba baca puisi dan pantun dari Sumatera, terutama Riau dan sekitarnya termasuk Kepulauan Riau, selalu berhasil menyisihkan para peserta dari pulau lain kala itu. "Agaknya Sumatera memang 'gudang' spesialis sastrawan," ungkap pemerhati budaya Melayu, penulis buku, dan mantan jurnalis, Tengku Muhammad Dhani Iqbal saat diwawancara di kantornya, di bilangan Condet, Jakarta Timur. Terbukti, para juara lomba puisi pada Porseni tingkat nasional terbanyak, dari Sumatera. Sedangkan di luar pulau itu, lanjut Iqbal, di Jawa misalnya, prestasi menonjol dalam bidang kesenian umumnya dari sendratari. Lalu di kawasan Timur, Maluku dan Papua misalnya, yang menonjol adalah atletik.
Lalu kembali kepada SD Negeri 02 Tanjung Pinang, adalah seorang wali kelas bernama Nur Lasiyam yang akrab disapa "Bu Lasiyam", yang menjadi fokus perhatian tim pusat tersebut. Tak ayal, Nur Lasiyam membina tiga siswa dari kelas 5 dan 6 yakni Densiska, Iin Enimay, dan M. Faisal yang akan diunggulkan mewakili lomba baca puisi Bintan Utara. Di hadapan tim pusat, ketiganya pun membacakan tiga karya sastra legendaris milik karya Chairil Anwar, masing-masing "Cerita Buat Dien Tamaela" yang dibacakan Iin Enimay dari kelas 5, lalu "Antara Karawang Bekasi" oleh M. Faisal juga dari kelas 5, dan "Aku" oleh Densiska dari kelas 6.
Singkat cerita, dari kompetisi yang dilaksanakan, M. Faisal berhasil menjadi juara pertama mengalahkan peserta lomba puisi tingkat SD seluruh wilayah Sumatera. Karena secara penilaian nasional, peserta lomba puisi dari luar Sumatera tidak mampu mengungguli, maka M. Faisal tampil sebagai juara umum Porseni untuk lomba baca puisi. Sedangkan dua rekannya, Iin Enimay dan Densiska terhenti di tingkat provinsi. Densiska bahkan terhenti di tingkat Bintan Utara, alias hanya menyisihkan peserta di kawasan tersebut dan gagal berkompetisi sampai ke tingkat Provinsi Riau.
Itu baru di tingkatan SD, belum lagi di SMP dan SMA, yang pesertanya juga cukup antusias. Namun untuk kompetisi baca puisi di tingkatan SMP dan SMA, para peserta unggulan lebih variatif. Di tingkatan SMA, meski Sumatera -dengan provinsi-provinsi mereka mendominasi para juara, namun juara umumnya dari Jakarta. Begitu meriah dan antusiasnya para peserta lomba puisi saat itu. Tapi itu dulu. "Itulah kenangan manis yang sudah tak lagi manis di saat ini. Sepertinya sudah tak lagi menyemangati generasi muda sekarang," ungkap M. Faisal yang kini telah menjadi petinggi salah satu perusahaan pengeboran minyak swasta di Aceh.
Tak keren
Setelah lebih dari tiga dekade berjalan, kondisi pun berubah. Boleh dibilang, setelah Presiden Soeharto lengser lalu pemimpin demi pemimpin silih berganti, kemudian kebijakan demi kebijakan untuk program pendidikan, seni, dan kebudayaan juga ikut bergonta-ganti, puisi dan pantun pun mulai terasa hambar. Sudah tak ada lagi ajang baca puisi menyemarakkan ajang Porseni di seluruh wilayah Nusantara. Potensi punggawa sastra tidak sebanyak dulu. Generasi muda kini menjadi lebih gandrung pada budaya kebarat-baratan dan drama Korea. Puisi dan sastra karya pujangga Indonesia malah dinilai kuno dan kurang keren.
"Padahal puisi dan pantun masih menjadi bagian yang penting, sebagai warisan sastra Indonesia," tutur Staf Pengajar SDIT Al Muchtar, Bekasi Utara, Nurfadilah Dahlia Febriana, S.P. S.Pd atau yang akrab disapa Febri. Menurut Febri, salah satu cara yang bisa melanggengkan warisan berharga bangsa tersebut adalah dengan memanfaatkan juga apa yang dianggap keren oleh generasi muda. "Teknologi digital seperti medsos (media sosial, red) dapat menjadi cara yang cukup efektif untuk memperluas jangkauan dan menghasilkan minat yang lebih luas terhadap puisi dan pantun," ungkap Febri.
Dengan medsos, para generasi muda bisa membuat komunitas atau platform, di mana pelajar atau masyarakat di luar sana dapat berbagi karya mereka dan mendapatkan umpan balik. "Ini yang penting, umpan balik dari orang lain yang dapat meningkatkan motivasi atas sastra tersebut."
Namun Direktur Utama Balai Pustaka, Achmad Fahrodji, mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia, baik generasi muda maupun yang di atasnya, bahwa adalah sebuah kebanggaan bila Indonesia memiliki ahli pantun. "Indonesia patut bangga dengan telah ditetapkannya pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh Unesco pada tanggal 17 Desember 2020. Nominasi pantun menjadi warisan dunia diajukan secara bersama oleh Indonesia dan Malaysia," ungkap Fahrodji. Sehingga sangat disayangkan bila bahkan ada yang mengatakan berpuisi dan berpantun adalah kuno.
Lunturnya minat terhadap puisi dan sastra khas Indonesia lainnya pun dirasakan oleh salah satu guru Bahasa Indonesia SMP Islam Al-Azhar 31, Bekasi, Muhammad Jalaludin, M.Pd. Dia juga mengakui bila siswa-siswi diajak berpuisi atau berpantun, animo mereka rendah. Tidak lagi seperti dua atau tiga puluh tahun silam. "Maka langkah yang harus kita lakukan, tentunya terus mempromosikan budaya Indonesia, salah satunya pantun yang merupakan aset bangsa," papar Jalaludin.