Lihat ke Halaman Asli

Angiola Harry

Common Profile

Menemukan Personal Branding dari Kompasiana

Diperbarui: 22 Mei 2021   17:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak terima kasih untuk Kompasiana dan kasih untuk semuanya. Diawali pada 2004 lalu, salah seorang jurnalis senior dari harian Radar Surabaya (Jawapos Group) Chaerul Sodiq bilang bahwa ada beberapa profesi yang tak kenal pensiun dan bisa selalu berkarya jauh melebihi masa pensiun mereka (60 tahun ke atas). Profesi yang dimaksud adalah penulis, akuntan, pengacara, dokter, dan tentara.

Penulis? Agak sangsi saat itu. Kalau dokter, akuntan, pengacara, tak diragukan lagi. Tentara awalnya juga sempat sangsi. Tapi tak sedikit tentara pensiunan yang masih bekerja di jasa pengamanan. Rata-rata ketajaman soft skill mereka (dokter hingga tentara) masih tepat guna hingga akhir hayat. Jasa yang dibutuhkan dari mereka, terutama adalah strategi dan analisis. Banyak pegiat profesional di golongan mereka bekerja hingga usia tua (bahkan hingga mendekati usia 80 tahun).

Mungkin bila kita bayangkan mereka, seperti menonton film layar lebar RED (Retired Extremely Dangerous). Okelah memang banyak yang begitu adanya. Tapi apakah sama juga dengan penulis? Karena awalnya, aku membayangkan bahwa penulis itu sama seperti karyawan biasa, yang ketika di masa berkarir mereka banyak-banyak menulis supaya punya banyak tabungan dan saat memasuki usia pensiun, mereka sudah tidak terpakai lagi skill-nya alias pensiun.

Artinya, penulis atau writer, ketika pensiun ya sudah selesai tugas. Memangnya siapa yang menginginkan jasa mereka lagi? Berarti apa yang dikatakan Chaerul Sodiq masih ada cacat logika. Karena dari kesemua yang disebutnya; penulis, dokter, hingga tentara, ada satu yang menurutku tidak seperti dia katakan, yaitu penulis. Namun setelah 17 tahun berjalan (mungkin bila pada tahun itu Chaerul Sodiq memiliki cucu yang baru lahir, cucunya sekarang sedang Sweet 17th), ternyata aku salah. Ucapannya terbukti .

Sebagai jurnalis yang memulai karir pada 2004, sejatinya karirku biasa saja. Nothing special. Jumlah prestasi terhitung di bawah lima jari. Tak ada yang istimewa. Pokoknya terlalu jauhlah untuk mencapai sebuah personal branding. Sebab, seseorang yang bisa memiliki personal branding adalah mereka yang punya keistimewaan dalam aktivitasnya atau dalam karirnya, atau keduanya.

Namun entah kenapa, pada sebelum memasuki Ramadhan tahun ini (Ramadhan 1442 H) ada dua orang teman lama, yang saat ini menjadi pengajar dari IPB University (seorang doktor dan dosen pengajar) tiba-tiba memintaku untuk memberikan pelatihan menulis, untuk genre storytelling. Terkejut juga mendengar tawaran itu. Sebuah kehormatan, sebuah kebanggaan, tapi juga mengherankan. Kenapa tiba-tiba storytelling mereka lekatkan ke diri ini?

Aku pun melalukan penelusuran di kanal pencarian, tentang storytelling. Tujuannya, mencari siapa saja pentolan storytelling di Indonesia ini, sehingga aku bisa berkaca dari sepak terjang mereka. Pantas atau tidak aku menerima tawaran itu. Dan betul saja, makin membuatku tak yakin, karena para storyteller kelas berat sudah menanti terutama Andreas Hartono, Dandy Laksono, dan lainnya. Tapi kesempatan tak datang dua kali dan aku harus punya kepercayaan diri. Mungkin juga inilah brand aku: storyteller.

Setelah dijelaskan, rupanya mereka sering membaca tulisanku di Kompasiana. Tapi bukan karena mereka stalking akun saya di Kompasiana, melainkan karena tulisan-tulisanku di Kompasiana kerap kubagikan ke berbagai media sosial, terutama Linkedin dan Facebook, juga dipajang status WhatsApp. Dari sanalah mereka 'mengenal' gaya tulisanku. Mereka memintaku untuk memberikan pelatihan kepada para mahasiswa yang masuk dalam program khusus Ditmawapk IPB. Sekali lagi sebuah kehormatan!

Dan tujuan mereka memberikan pelatihan storytelling untuk para mahasiswa yang tergabung dalam program khusus tersebut, ialah supaya para mahasiswa bisa menjembatani komunikasi karya ilmiah, ilmu pengetahuan, dan hasil riset, melalui teknik menulis storytelling. Pasalnya, selama ini karya ilmiah cenderung bergaya penulisan baku dan kaku. Alhasil yang terjadi adalah pengkhususan kaum pembaca, yakni pembacanya hanya mereka yang sedang kuliah atau sedang menuntut ilmu.

"Karya-karya ilmiah itu utuh dibuat menjadi gaya penulisan populer," ujar Dr. Beginner Subhan, salah satu pengajar IPB University yang juga beberapa pekan lalu secara resmi membuka pelatihan Storytelling Workshop, dimana saya didapuk menjadi pembicaranya. Pelatihan itu diprogram selama 5 kali pertemuan dengan memadukan teori, diskusi, dan penugasan. Output dari pelatihan itu adalah mendapatkan bibit-bibit unggul storyteller dan juga visual storyteller dan diketahui pihak Dikti Kemendikbud.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline