Beberapa tahun lalu Raditya Dika tengah berada di Amerika untuk urusan tertentu. Tidak lama, barangkali dua-tiga hari. Sesampainya kembali di Indonesia, Raditya Dika mendapati kabar kalau kucing peliharaannya, Pink, tutup usia.
Pintanya saat itu hanya satu: dikuburnya nanti saja kalau saya sudah sampai di rumah, saya pingin lihat untuk terakhir kalinya. Sayang, permintaan terakhirnya tidak dapat terpenuhi. Mayat Pink sudah keburu menyebarkan bau yang tidak sedap dan setengah badannya telah dikubur.
Raditya Dika sudah punya beberapa kucing. Bisa dibilang banyak, malah. Kucing-kucing itu selain dibeli untuk dipelihara, juga kadang diajaknya sunting untuk beberapa film. Tapi yang pasti, kucing-kucing itu dibeli untuk menemaninya yang tinggal sendiri di rumah.
Untuk kucing yang baru saja tutup usia itu, Pink, didapati Raditya Dika dengan pertemuan yang biasa saja.
Saat sedang memilih kucing di peternak, Pink seperti seorang anak kecil yang ingin diajak main dan bersenang-senang. Dan pada saat itu juga Raditya Dika keluar dari peternak hewan dan membawa Pink.
"Kita tidak pernah memilih kucing, tapi kucing sendiri yang memilih majikannya untuk dipelihara," ujar Raditya Dika.
Tidak ada yang bisa diselamatkan dari kematian, memang, yang tersisa hanya kenangan dan ingatan. Maka setelah Raditya Dika sudah sedikit berdamai dengan kematian Pink, ia membuat semacam video obituary tentangnya. Tentang kali pertama pertemuannya sampai perpisahan terakhirnya di sini.
Saya sepakat untuk itu. Sebab itu tak jauh berbeda dengan buku yang menemui atau memilih sendiri pembacanya. Saya sering mengalaminya. Bahkan lebih sering begitu. Akan saya kisahkan beberapa.
Saya dan Kumcer "Corat-Coret di Toilet", Eka Kurniawan
Ketika hendak berangkat, dari salah satu grup wasap, bertanya: ada yang tahu anggota DPR komisi V yang kompeten untuk jadi pembicara?
Tak lama ada yang menimpali, sebentar dicari dulu.