"Aku hanya bisa melucui keadaan seperti sore itu pada temanku: jalan kaki di Jakarta sama saja dengan bunuh diri."
Satu waktu, ketika pulang membeli gorengan Eneng yang terenak sedunia fana itu, kami --aku dan temanku-- putuskan untuk muter agak jauh. Kalau biasanya tinggal lurus, kala itu kami tembuskan pasar dan keluar di depannya.
Sore hari selalu ramai. Jalan raya dipenuhi kendaraan; macet. Kami akhir mesti mlipir sana-sini ketika berjalan di trotoar. Berbagi jalan dengan pedagang kaki lima dan kendaraan bermotor yang tanpa diduga naik ke trotoar menerobos yang namanya macet itu.
Belum lagi motor-motor yang parkir sembarangan. Motornya ada, pemiliknya entah ke mana. Yang lebih menyebalkan: motor yang diparkir itu justru foot-step belakangnya terbuka. Jadi kalau tidak hati-hati bisa tersandung atau tersangkut.
Aku hanya bisa melucui keadaan seperti sore itu pada temanku: jalan kaki di Jakarta sama saja dengan bunuh diri.
Temanku tidak tertawa.
***
Jika sedang kedapatan ngantornya masuk malam, aku sering datang lebih cepat. Biasanya itu karena dua hal: (1) jadwal kereta sore kalau ke Jakarta jarang penuh dan itu adalah waktu yang terpat agar supaya bisa bareng, satu kereta, dengan civitas akademi Universitas Indonesia yang lucu-lucu itu pulang. Atau, (2) bisa nongkrong-nongkrong dulu.
Abaikan yang pertama, sebab meski sering bareng dan bertemu, tidak pernah sekalipun ada hasilnya. Alias nol besar!
Namun, mari fokus pada bagian kedua. Inilah kisahnya:
1/
Aku suka ngopi. Bisa dibilang, ngopi adalah jalan ninjaku~
Untuk sampai ke kantor dari stasiun setidaknya ada 3 warung kopi. Jika sedang kedapatan tugas malam, dari sebulan hingga seminggu, pasti aku sempatkan bergiliran ngopi di sana.