Setiap hari adalah hari rindu, kecuali sabtu dan minggu: bagiku itu hari yang baik untuk cemburu.
Sesungguhnya aku tidak suka cemburu. Tapi setiap sabtu dan minggu, entah kenapa, aku hanya bisa cemburu padamu. Kamu akan kembali ke keluargamu, anak-anakmu, dan suamimu. Sedangkan aku, seperti yang kamu tahu: mengasihani diri sendiri dengan dua atau tiga botol bir di sebuah kedai dengan senja yang enggan pergi.
Namun, ingatkah kamu kadang kita sering menertawai babwa libur itu sesungguhnya adalah dongeng sebelum tidur. Dan setiap kali sabtu dan minggu, aku dan kamu, justru seperti tidak ingin tidur. Kita tidak butuh didongengi.
Inilah hidup, katamu satu waktu, selalu diisi dengan kepastian dan ketidakpastian yang memilukan.
***
"Aku mungkin tidak masuk hari senin," katamu, pada hari jumat malam. "Ada rapat orangtua murid, Zaskia ingin aku hadir kali ini. Sudah 3 tahun aku menolak hadir dan teman-temannya malah mengejeknya kalau dia dibilang tidak punya ibu," lanjutmu.
Rokok di asbak dibiarkan menyala dan pelan-pelan menjadi abu. Sepertinya kamu menduga aku akan marah dengan ucapanmu tadi.
Kamu masih tertunduk.
Aku matikan rokokmu. Sisa lipstik yang menempel di ujung puntung rokokmu membekas di jariku. Aku peperkan itu ke pipi kirimu dengan membuat satu garis panjang. Kamu mengangkat kepala dan bingung atas apa yang barusan aku lakukan.
"Kamu marah?" tanyamu.
Aku diam. Tersenyum. Menahan tawa, lebih tepatnya. Goresan lipstik itu masih ada di pipi kirimu. Aku ambil selembar tisu dan pura-pura ingin membersihkannya.