Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Jalan Braga, Jalan Asia-Afrika

Diperbarui: 29 Desember 2016   04:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: @kulturtava

1/ Perempuan itu terus berlari dengan tetesan keringat yang kemudian menjadi kupu-kupu.

ADA SEBUAH LUKISAN yang sama sekali tidak dijual di toko itu. Sebuah lukisan yang bercerita tentang perempuan yang jengah, yang sudah tidak peduli dengan apapun yang berkaitan dunia ini. Kepala perempuan itu lahir ribuan kupu-kupu bersayap kuning dan biru; beterbangan. Si Perupa memberinya judul: Kupu, Perempuan Setelah Itu.

Dan setelah melihat lukisan itu seperti ada yang liar-liar dalam pikiran Imas. Dadanya mendadak jadi sesak. Lalu Imas memejamkan mata. Kegelapan yang kosong. Kepastian yang bohong. Sebelum Imas membuka matanya, barulah muncul ribuan kupu-kupu itu, beterbangan menuju matanya yang sayu.

Toko lukisan itu semacam oase di Jalan Braga. Sebab di antara segala yang gilang gemilang di sana, hanya toko itu yang dari luar terlihat sedikit kusam. Dan entah mengapa, Imas suka sekali ke toko itu. Seperti ada yang membuatnya kembali, walau Imas sendiri tidak tahu mengapa dan ada apa. Dalam satu bulan, jika sedang lewat jalan Braga, Imas pasti sempatkan mampir. Tak lupa juga Imas akan berlama-lama memandang lukisan perempuan berkepala taman kupu-kupu.

Pernah satu waktu ketika toko itu sedang sepi --ya, selain akhir pekan, toko lukisan itu memang selalu sepi-- di sabtu sore, Imas diingatkan oleh si Perupa, "tidak usah terlalu serius melihat lukisan, karena (setiap) lukisan akan mengambil banyak energi bagi siapapun yang melihatnya."

Imas hanya diam saja dan sedikit mengangguk saat si Perupa itu selesai mengingatkan. Imas tidak peduli, tepatnya.

Selain toko lukisan itu, masih di Jalan Braga, Imas juga suka mampir ke sebuah kedai kopi yang ada pojok hiburan setiap malamnya. Masih sama, seperti toko lukisan itu, sepi dari minat pelancong. Ya, di kedai kopi itulah untuk kali pertama Imas kenal Ewok --secara kebetulan atau tidak. Saat itu malam minggu. Kedai kopi itu sedang tidak ramai-ramainya. Mana ada orang datang ke Jalan Braga dan memilih tempat nongkrong yang hiburannya lagu-lagu mendayu? Kecuali Imas, tentu.

Ewok baru saja turun dari panggung. Memasukkan gitarnya ke dalam sarung. Kemudian pemilik kedai kopi itu, temannya Ewok sendiri, menghampiri Ewok dan menepuk punggung. "Mainkan satu atau tiga lagu lagi bisa? Ayolah. Lihat, masih ada pengunjung."

Mata Ewok langsung tertuju pada Imas yang tengah membaca buku di kedai kopi itu. Kedai itu emang hanya menggunakan lampu-lampu yang tidak terlalu terang yang digantung. Namun, di tiap meja disediakan lampu-lampu yang warnanya kuning keemasan. Jadi jika dilihat dari jauh, akan membentuk siluet. Dan di mejanya, Imas yang tengah membaca buku dan terlihat sedikit murung.

"Memang masih kurang 2 jam menyanyi tapi tidak ada yang mendengarkan?" tanya Ewok, tapi matanya masih mengarah ke Imas.

"Saya mendengar semua lagu yang kau nyanyikan, Wok. Dan saya yakin, dia juga mendengarkan,"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline