Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

[Cerpen] Serupa Puteri Malu

Diperbarui: 11 September 2016   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: pixabay.com

IA AKAN MENUTUP dirinya ketika disentuh. Begitulah bunga Puteri Malu. Kadang bisa tumbuh di sembarang tempat, di semak-semak yang ditumbuhi ilalang, di retakkan lapangan yang lama tidak pernah dipakai. Di mana saja. Yang pasti tidak ada seorang pun yang benar-benar niat menanamnya, kecuali Pak Badrun.

Pak Badrun bukanlah petani, bukan juga pecinta bunga-bunga. Ia hanyalah seorang yang kesepian.

Pak Badrun tinggal sendiri di rumahnya. Istrinya telah lama meninggal, sedangkan anak-anaknya sudah berkeluarga semua. Rumah Pak Badrun tidak jauh dari lapangan bulu tangkis. Satu-satunya lapangan bulu tangkis di kampungnya. Dulu, lapangan itu selalu ramai, selalu dipakai setiap malam Sabtu atau Minggu pagi oleh warga sekitar. Namun, semenjak tidak ada lagi tayangan pertandingan bulu tangkis di televisi dan minimnya prestasi, jadilah lapangan itu sepi.

Kali pertama Pak Badrun melihat bunga Puteri Malu, ya di lapangan itu.  Bunga itu tumbuh di retakan garis paling luar sebelah selatan bagian lapangan. Waktu itu tak sengaja Pak Badrun menginjak duri bunga Puteri Malu. Telapak kakinya tertusuk. Sambil meringis kesakitan, ia coba mencabut duri itu. Bunga itu tampak hancur, tak berbentuk. Tapi, ketika duri itu selesai dicabut, bunga Puteri Malu kembali mengembang. Seperti hidup lagi.

"Andai manusia bisa seperti ini," ujar Pak Badrun sendiri. "Walau sudah diinjak, tapi bisa bangkit kembali."

Sore sudah hampir menuju penghabisan. Malam segera datang. Kalong-kalong liar berterbangan di antara pepohonan. Ia pulang ke rumah dengan langkah terjinjit.

BARANGKALI PAK BADRUN lupa kalau ia dulu pernah baca sebuah sajak ini di koran cetak: seharum adapun bunga, secantik apapun kelopaknya, selalu ada duri, yang tanpa kau sadari, bisa menusuk sakit dan jadi luka baru yang mesti diobati.

Kini Pak Badrun tengah mencari bunga Puteri Malu untuk ditanam di halaman belakang rumahnya. Halaman depan sudah penuh ditanaminya. Tepat di dekat gorong-gorong ia melihat bunga Puteri Malu. Diambilnya sekop kecil dari dalam tasnya untuk mencungkil tanah. Dibuatnya bentuk persegi mengelilingi bunga Puteri Malu, lalu setelah berhasil dicungkil, dimasukkan kantung kresek ke dalam tas.

Sangat hati-hati ia memasukkan bunga itu. Tidak boleh ada akarnya yang keluar menjuntai dari tanah. Bisa 'mati' sungguhan nanti. Pak Badrun pulang. Perutnya sudah berbunyi kelaparan.

Memasuki rumahnya pun ia tidak kalah hati-hati. Bunga-bunga itu sudah menutupi halamannya tiap sisi. Hanya ada jalan setapak yang dibuat Pak Badrun dari kayu: dari pagar menuju pintu masuk. Sebelum membuka pintu, Pak Badrun menyentuh satu bunga Puteri Malu. Bunga itu menguncup, ditunggunya kembali terbuka, baru setelah itu ia masuk --sembari merekahkan senyum.

Kesepian, barangkali, bisa lebih membuatnya menerima apa saja. Apapun yang dilihatnya tampak lucu, seakan mengajaknya bercanda. Sampai pada akhirnya ia menyadari: sepi adalah satu-satunya luka yang belum bisa ia obati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline