Lagi-lagi koneksi internet di rumah mati. Sudah beberapa minggu ini saya alami. Dan sialnya, setelah berlangganan hampir satu tahun baru belakangan ini terjadi. Lebih sialnya lagi, entah mengapa, paket data di hengpon juga ikut-ikutan mati. Hari itu saya berpikir: apa mungkin manusia bisa "hidup" tanpa terkoneksi internet?
Saya tidak ingin dan sama sekali tidak akan membahas itu! Tidak penting juga, meski pekerjaan pasti akan menumpuk nantinya. Tapi karena itu, koneksi internet yang mati, saya jadi bisa berlama-lama membaca buku. Bahkan mengkhatamkan dua buku sekaligus; satu novel dan satu kumpulan puisi. Jauh lebih menyenangkan rupanya --jika dibandingkan dengan keluyuran di Twitter.
Belakangan, saya hanya punya waktu membaca buku di dua tempat: kereta dan toilet. Jika dihitung-hitung, paling lebih-kurang 4 jam dalam satu hari. Itu pun tidak efektif. Kalau di kereta saya mesti berhadapan dengan kantuk, kalau di toilet saya mesti bergantian dengan "edenan" --buang air besar juga butuh konsentrasi.
Tidak ada yang saya lakukan hari itu selain baca buku. Maka saya putuskan untuk mengambil kumpulan puisi Mario F. Lawi: Ekaristi. Buku ini berkali-kali saya baca, tapi tidak juga selesai dan saya pahami. Selain karena istilah-istilah keagamaannya, tentu saja. Banyak sekali diksi yang Mario F. Lawi sajikan pada puisinya yang tidak saya mengerti. Wawasan saya terbatas untuk hal itu. Tapi dari cara Mario F. Lawi menceritakannya lewat puisi, saya bisa dengan mudah membayangkannya.
Ekaristi berisi tentang pengalaman dan perenungan Mario F. Lawi semasa kecil, juga cerita ketika ia mengikuti sekolah seminari. Bahkan jauh melebihi itu, saya kira. Mario F. Lawi juga mencerita tentang kitab suci yang ia yakini dan mengisahkan ulang dengan indah.
Ada satu puisi yang saya suka pada buku itu, judulnya: Kami pun Bertanya Ketika Aroma Anggur dan Rekah Cawan Bertabrakan. Akan saya kutip secara utuh.
TembangMu, Tuhan, datang memanjang
sebelum kamu tenggelam dalam remang.
Di dada kami ada sebaris luka,
bekas tambal-sulam keberadaan.
dengan duri-duriMu.
Dengan tembangMu
beterbangan aroma anggur
bercampur sedikit desir anyir.
Dari dada kami merekah cawan
di antara tilas-tilas yang rawan.