Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Menertawai dan Menangisi Indonesia

Diperbarui: 18 Agustus 2016   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peserta Karnaval Budaya

Setiap melihat karnaval budaya, entah mengapa, saya kerap ingat sajak 'garing' yang dianggit Khrisna Pabhicara: "Di negeri ini, segala adalah lelucon / terjadi untuk ditertawai. // Kecuali kamu, tercipta semata-mata / untuk diairmatai."

Sore tadi (17/08) saya duduk sembari mencecap kopi di warung. Saat itu juga, saya tahu sedang ada Karnaval Budaya yang tiap tahun selalu diadakan Karang Taruna (tingkat RW). Sengaja saya ke warung itu karena tahu kalau mereka, para peserta Karnaval Budaya, akan melintasi jalan ini. Rutenya cukup dekat, sekadar mengelilingi sebagian komplek perumahan saya saja. Jadi, sembari menikmati kopi, saya bisa sekaligus menyaksikan para peserta Karnaval Budaya berjalan beriringan.

Satu per-satu RT, dengan tema daerah yang sudah ditentukan panitia, para peserta lewat dengan riuh dan gaduh. Mereka bernyanyi lagu-lagu kebudayaan daerah masing-masing. Ada juga yang meneriakkan yel-yel dengan larik/bait penuh dengan humoris. Anak-anak kecil memakai seragam sekolah mereka sambil memasang tampang bingung; seakan tidak tahu apa yang tengah mereka lakukan. Dalam hati saya tertawa, beberapa orang di warung kopi itu sibuk mengomentari pakaian yang dikenakan. Pada komentar orang-orang itu saya tidak peduli.

Untuk gelaran Karnaval Budaya ini, rasa-rasanya tidak ada yang berbeda dengan dua tahun lalu. "Seperti mengecat ulang bangunan yang sudah ada," jika saya boleh meminjam analogi Imam Riyadi, salah seorang panitia Karnaval Budaya ini. 

Peang ikut Karnaval Budaya

Saya ingat betul bagaimana setiap RT mendapat jatah tema daerah yang berbeda-beda. Konsepnya sama, namun sekadar penamaan tema yang diubahnya.

Kopi belum tandas dari gelas sudah saya tinggal. Semua peserta yang mengikuti Karnaval Budaya sudah melintas. Saya menuju lokasi acara tempat berkumpul, di pelataran Perpustakaan Teras Baca.

Miniatur Jembata Ampera - Sumatera Selatan

Ramai. Sekitar 500 lebih orang berkumpul di lapangan, berbaris, meski tidak rapi. Sebelum inti acara dimulai, lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Sekejap sunyi. Kemudian semua bernyanyi, lantang. Adakah yang mampu membuat (hati) menangis dibanding menyanyikan lagu kebangsaan bersama-sama? Apalagi, tadi, diiringi dengan gesekan biola oleh Hana Sufiana. Rasa haru itu pun semakin menjadi-jadi.

Kurang atau lebih, barangkali, ini sama seperti yang rasakan kala menonton tim-nas sepak bola bertanding. Setidaknya itu yang saya tahu dari buku Pandji Pragiwaksono: Nasional Is Me.

Rumah Minang Kabau - Padang

Jam Gadang, Malin Kundang and Ketupat Padang

Pada saat itulah para peserta Karnaval Budaya mempresentasikan apa yang tengah dibuatnya. Sekitar 10 'daerah umum' Indonesia yang notabene memiliki ciri khas paling kentara. Misalnya: DKI Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah,  Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Kalimantan Barat dan Sumatera Barat, Sumatera Selatan.

Saya mencari duduk dekat panggung utama. Lalu tak lama Fakhri, ketua Karang Taruna, menghampiri.

"Kalau diperhatikan secara detil, ada sedikit perbedaan dari Karnaval Budaya tahun-tahun terdahulu," kata Fakhri. "Tahun ini ada porsi lebih pada proses presentasi setiap wakil peserta Karnaval Budaya. Sekitar 40 porsen. Itu terkait apresiasi kami kepada peserta yang mampu mendalami daerah yang didapat."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline