Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Ketika Istana Kepresidenan Pamer Koleksi Lukisannya

Diperbarui: 2 Agustus 2016   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

17 | 71: Goresan Juang Kemerdekaan

Ada kata "pamer" dalam pameran. Bukan semata pamer dalam konotasi negatif, pamer di sini semacam pembuktian hasil karya yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Saya sudah berada di antara orang-orang yang tengah mengambil gambar dan mendengar dongeng-dongeng tentang lukisan yang dipamerkan. Saya datang sedikit terlambat, jalan Jakarta memang tidak bisa ditebak. Ketika saya ingin mengambil gambar, saya sedikit kaget, saya kira seorang laki-laki yang tengah mendongeng itu Agus Noor, ternyata bukan, hanya mirip. Mikke Susanto namanya, seorang kurator lukisan kenamaan.

Mulai hari ini (2/8) sampai 30 Agustus 2016 diselenggarakan Pameran Lukisan "17 | 71: Goresan Juang Kemerdekaan" di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia. Sekitar 28 lukisan yang dipamerkan di sini, "Sebenarnya ini baru 1% jumlah lukisan yang Istana Kepresidenan miliki, selebihnya (tidak ikut dipamerkan) karena kapasitas gedung ini yang kurang memadai," kata Mikke Susanto memulai dongengnya.

Dari total 28 lukisan, pameran ini dibagi dalam 3 (tiga) subtema: potret tokoh-tokoh penting perjuangan (berada di pintu masuk), kondisi sosial revolusi (ruangan tengah gedung), dan kenusantaraan (bagian belakang gedung).

Baru saja saya ingin melihat lukisan Sudjono Abdullah, Diponegoro, Mas Mikke (maaf memanggilnya "Mas", supaya terasa akrab: sebab kami sesama kurator dan gondrong, yang beda bidang profesi saja) sudah mengingatkan, "Tidak usah terlalu lama melihatnya, melihat lukisan juga butuh dan memyita energi. Masih ada 20-an lukisan lagi,"

Energi? Apa punya urusan energi dan melihat lukisan? Jujur, saya tidak tahu-menahu soal lukisan. Pengetahuan saya sebatas dari satu referensi film: Mr. Bean.

Dari kelima lukisan Potret Tokoh-tokoh Perjuangan, saya mengagumi lukisan Affandi, H.O.S Tjokroaminoto. Beliau adalah guru Bung Karno dan bagi saya, Affandi cermat betul melukis sosoknya. Bukan hanya sosok, namun pada latar lukisannya seperti ada keriuhan rakyat, kehidupan yang barangkali terjadi pada masa itu.

"Lukisan ini (potret H.O.S Tjokroaminoto) sangat khas Affandi, perhatikan, ada tapak kaki," ujar Mas Mikke, sambil menunjuk yang tadi dimaksud. "Dan ini," lanjutnya. "Saya menduga orang yang kurus-kering pada sisi kanan lukisan adalah Affandi. Seperti yang kita tahu, Affandi adalah pelukis yang miskin," Mas Mikke tertawa dan dalam hati saya merespons: Oh!

Lambat laun saya jadi paham bagaimana asyiknya melihat lukisan: mencari dan menemukan tanda-tanda yang ditinggal perupa pada karyanya.

Melangkah masuk ke ruang tengah, ada beberapa lukisan di sana. Kondisi sosial masa-masa Revolusi. Tentu ada lukisan Sang Maestro, Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro. Saya ingat, ingat betul lukisan itu. Lukisan yang banyak di buku IPS semasa SMP.

"Lukisan ini terinspirasi oleh pelukis Belanda Nicholaas Pienemaan dengan judul Penyerahan Diri Dipo Negoro kepada Letnan Jenderal H. M. de Kock, 28 Maret 1930." Mas Mikke mulai menerangkan. "Namun yang jauh lebih menarik lagi," ujar melanjutkan Mas Mikke, "penggunaan kata 'Pangeran' pada lukisan Raden Saleh itu penting, sebabnya Diponegoro adalah seorang Pangeran dan pada lukisan itu digambar Raden Saleh dada Pangeran Diponegoro yang dibusungkan, tanda perlawanan, bukan penangkapan yang biasa."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline