Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Sepakbola, Olahraga dan Hal yang Pantas di Ingat

Diperbarui: 31 Juli 2016   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para remaja antusias menyaksikan sepak bola (Foto: Harry Ramdhani)

"Aku ingin mencintaimu dengan  cinta yang pernah kecewa. Maukah kau menerimanya? Maukah kau mencintai cinta yang pernah kecewa?  Aku ingin mencintaimu dengan cinta yang pernah kecewa, bukan dengan metafora metafora penyair tua yang sok tahu tentang cinta itu!" (Hujan dan Memori, 2013, dari buku puisi Saut Situmorang: Perahu Mabuk)

Sepertinya "kecewa" merupakan bahan pokok hidangan yang kini kalian rasakan: perubahan. Demo, bentrok dengan aparat keamanan, sampai aksi-aksi Kamisan, adalah cara-cara memasaknya semata.

Namun sayang, banyak yang malah mencibir cara memasak semacam itu. Terlalu kekanak-kanakan, tidak mendidik, seperti tidak ada cara lain. Biarlah, nantinya juga mereka sendiri yang merasakan perubahannya.

Kalau pun cara-cara semacam itu lebih sering dihujat, saya ingin tawarkan sesuatu yang lain: lewat gelaran olahraga. Bagaimana? Tanpa perlu demo-demoan, tanpa berlelah-lelah bentrok dengan aparat keamnana dan tanpa perlu aksi-aksi kemanusiaan.

Sepakbola, misalnya. Dulu, tatkala Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978, sepakbola bisa dibilang sebagai alat untuk mereka mengolah "kecewa" kepada rezim militer yang berkuasa.

Waktu itu, rezim militer yang berkuasa ingin memberitahu dunia atas prestasi-prestasi capaiannya. Seperti aji mumpung, rezim militer mengakalinya lewat gelaran Piala Dunia.

Tidak nampak berhasil, namun dari sanalah cikal-bakal mewabahnya Aksi Kamisan. Beberapa orang berdiri, diam dan menggunakan payung hitam menunggu tegaknya keadilan. Sebab perlawan terhadap rakyat Argentina pada rezim militer yang kala itu tengah berkuasa tidak ingin sepakbola diciderai dengan cara menutup-tutupi junta militer yang pernah rezim militer itu lakukan. Sampai kiper Argentina yang pertama pun jadi korbannya.

Saya jadi teringat bagimana "suhu politik" pernah memanas di tingkat RW. Skup yang kecil, yang barangkali pemerintah tidak peduli-peduli amat.

Dulu, seingat saya, sebelum reformasi kira-kira, teritori RT yang saya tinggali sampai sekarang ini adalah hasil pemekaran RT. Referendum dilakukan di rumah saya. Dihadiri perwakilan desa, ketua RW dan warga-warga yang terlibat di sana.

Sebelum jauh membahas itu, alasan pemekaran RT terkait kesenjangan dan ketidak-adilan antar warga, antar tetangga. Jika dirunut, alasan terbesarnya adalah orang-orang yang sering memenangi kejuaraan olahraga tingkat apa saja tidak pernah mendapat hak yang sebanding.

"Kecewa" itulah yang membuat RT saya memberanikan "makar" dalam tanda kutip. Prosesnya cukup panjang, Gopah yang mengkoordinir semua. Bermodal uang 50ribu untuk mengurus ini dan itu dari pihak RW. Entah diapakan uang itu, yang pasti, yang lebih penting diurus adalah kelengkapan administratif. 50 ribu sangat kurang!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline