Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Menjadi Esai

Diperbarui: 15 Juli 2016   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: shutterstock

Membaca esai itu menyenangkan. Walau saya lupa esai pertama yang saya baca, tapi saya ingat betul kapan mulai menyukai esai: sekitar 6 (enam) tahun lalu, tahun ketika saya mengenal dunia jurnalistik dan sadar bahwa itu tidaklah terlalu asyik.

Waktu itu juga saya dikenalkan dengan produk jurnalistik lain. Feature, namanya. Mendalam dan punya aturan main sendiri. Mirip esai, namun, rasa-rasanya masih ada jarak antara feature dengan sebuah peristiwa itu sendiri. "Kedekatan subjektif" bila saya boleh asal sebut.

Esai memberi ruang lebih kepada penulisnya untuk ikut hadir pada karyanya. Entah sebagai pelaku utama atau orang ketiga --yang menceritakan ulang lewat pengalaman-pengalaman masa lampau. Kedekatan subjektif itulah, yang barangkali memberi warna lain.

Bila di media massa cetak, mungkin ada di rubrik "Opini".

Maaf, bukan maksud hati ingin menggulai kolak pisang. Namun pengalaman, sampai kapanpun juga, akan jadi guru terbaik. Barangkali dari esai yang salah satunya, kita bisa temukan itu.

Esai-esai Goenawan Mohammad di Majalah Tempo, Catatan Pinggir, sudah pasti saya jadikan pedoman. Kala itu Bang Rifky, co-founder komunitas Stand-up Comedy Bogor, yang menyarankan. Bahkan sempat ada survei kecil-kecilan: bahwa pembaca Majalah Tempo lebih sering membacanya terbalik, dari belakang, dari Catatan Pinggir terlebih dahulu, baru ke laporan utama. Saya lupa pernah baca survei itu di mana. Untunglah waktu itu di Perpustakaan Teras Baca menyediakan. Di sana saya bisa membaca atau meminjamnya sepuas hati.

Karena esai juga saya menggilai sastra. Tentu karena Catatan Pinggir. Selalu ada puisi, cerpen atau novel yang dibahas di sana. Bayangkan, sebuah karya fiksi dijadikan tulang rusuk sebuah tulisan. Menarik.

Lalu, apa catatan harian bisa disebut esai? Saya kira, ya. Sebab nantinya pembaca bisa menginterpretasikan sendiri arah atau tujuan tulisan itu. Semacam membaca puisi. Tulisan akan menjadi luas dan tak terikat ruang waktu.

Seperti sekarang saja. Apa yang sudah terjadi hari ini, barang tentu merupakan esai, hanya saja kita belum sempat menuliskannya.

Commuterline Tanah Abang - Bogor, 15 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline