Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Malam-malam Dijenguk Rindu

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14215946391238736037


ilustrasi

Di luar ruang kantor seperti ada yang mengetuk pintu. Ketika saya buka, itu rindu. Nafasnya terengah. Ia terlihat lelah. Saya persilakan rindu masuk dan duduk. “Maaf meja kerja saya berantakan,” kata saya, “mau minum apa? tapi di sini cuma ada kopi, teh, dan air mineral saja. Tak apa?.”

Rindu masih mengatur nafasnya. Lalu saya suguhkan ia air mineral, satu gelas penuh dalam ukuran besar. Dan, hanya satu kali tegukan, pada gelas itu sama sekali tak ada air yang tersisakan. Rindu menceritakan banyak tentang ibu. Tentang apa-apa saja yang selama ini saya tidak tahu.

Kata rindu, kini ibu sedang belajar menyulam, ia ingin memberimu baju hangat karena akhir-akhir ini kamu suka kerja malam. Saya jadi terharu mendengar cerita itu. Untuk saat ini pekerjaan saya sisihkan terlebih dulu, nampaknya rindu masih bawa banyak cerita-cerita tentang ibu.

Rindu melepaskan kacamatanya. Ah, mata rindu mirip mata ibu. Teduh sekali. Seperti tak pernah ada air mata yang singgah di sana.

“Ibu baik-baik saja?” tanya saya.

“Ya, ia akan selalu baik-baik saja.”

Bukan. Bukan itu maksud saya. Saya tahu bagaimana ibu, di depan semua orang ia selalu perlihatkan kalau dirinya tampak baik-baik saja. Ibu penyimpan sedih yang luar biasa.

Dan saya jadi ingat ucapan ibu dulu, “air mata itu mahal harganya. Tak ada alat tukar yang mampu membelinya. Jadi tak perlu kamu buang dengan percuma.” Tapi malamnya, ketika satu rumah sedang tidur, saat masuk waktu seper-tiga malam, saya dapati ibu menangis di kamarnya yang gelap.

“Sudah lama bukan kamu tidak makan sayur asem, tempe goreng, dan sambel terasi?” ujar rindu, “sebelum ke sini, ibu sedang masak itu,”

“buat saya?”

“Ya, bukanlah, buat ibu makan sendiri. Lagi pula sejak kamu kerja, kamu lebih suka jajan, makan di luar. Entah dengan teman, entah dengan pacar. Ibu sedih saat itu. Tapi tidak tahu juga, sebab kata ibu tadi, ini sambel terasi kesukaanmu. Tidak terlalu pedas.”

Supaya rindu tidak terlalu menyudutkan, saya buatkan dia teh manis hangat.

Andai ibu tahu, dulu itu sepulang kerja saya suka diam-diam makan masakannya yang tertata rapih di meja. Dan paginya, tikus saya jadikan kambing hitam. Ibu suka gerutu pagi-pagi saat melihat meja makan makan sedikit berantakan. Saya malu. Saya sengaja melakukan itu untuk mengelabui ibu, karena malamnya saya makan kelewat banyak. Mana mungkin saya bisa tak suka makan masakan ibu, sedangkan oranglain mesti mengeluarkan biaya yang sedikit lumayan hanya untuk mendapat jasa ibu tiap ada acara nikahan dan lain-lain?

Rindu memasukkan jamu penolak angin ke dalam tehnya. “Kadang ibu ingin membuatkan minuman seperti ini untukmu.”

“Kalau nanti kau pulang, rindu, boleh titip salam kangen saya buat ibu?”

“Tentu… dengan senang hati,”

Kemudian saya lanjutkan beberapa pekerjaan yang tadi sempat saya terlantarkan. Rindu tertidur di sebelah meja kerja saya.

“Tolong nanti pukul dua bangunkan dan antarkan pulang, ya?” pesan rindu sebelum tidur.

Ruang kantor saya makin sunyi. Segala tentang ibu tadi, seperti membuat sesak dalam hati. Kangen ibu, kangen yang tak bertepi. Sebab ibu, adalah muasal kangen itu.

Jam dinding menunjukan pukul dua. Saya bangunkan rindu dan mengantarnya pulang. Tepat di depan makam itu, makan ibu, rindu berhenti dan membalikan badan. Rindu menjelma ibu. Rindu itu ibu. Ibu itu rindu. Keduanya seperti sepasang merpati di ujung pohon natal; yang tak bisa terpisahkan.

Perpustakaan Teras Baca, 17 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline